Rabu, 21 Mei 2008

Selamat jalan bang Ali

ada yang harus dilunaskan
ketika kata hati memanggil

ada yang mesti ditunaikan
ketika ketidakadilan mengiris

hari ini
semua telah lunas
segala telah tunai

selamat jalan,
pejuang

Korantempo, 21 Mei 2008

Sabtu, 10 Mei 2008

Trend Batik : perspektif sejarah

Tyson
(Mahasiswa program studi sejarah UI dan aktivis sejarah sosial Indonesia )


Semasa menjadi presiden Indonesia Soekarno pernah berkata “ayo bangsa Indonesia, jangan berhenti! Revolusimu belum selesai, jangan berhenti!...[1]
Sekarang apakah revolusi sudah selesai? Apakah kita bertindak sebagai agen revolusi? Ataukah kita telah digilas dan dilupakan oleh revolusi? Karena setiap tindakan kita tidak lagi berdasarkan keinginan sendiri, kita terlalu banyak terpengaruh budaya yang “berbeda” dari budaya bangsa sendiri. Apakah ini revolusi yang belum selesai? Aplikasi pada masa sekarang lebih terlihat lagi ketika masyarakat di Jakarta mulai mengapresiasi batik sebagai busana.
Dalam mengambil sikap kita telah kehilangan arah. Di satu sisi kita senang dan bangga karena batik telah terlahir kembali dalam kehidupan sosial kita. Tetapi di sisi lain, jika kita melihat lebih dalam lagi, harus diakui bahwa apresiasi batik ini semata-mata hanyalah perkembangan mode terkini yang menyeret kita menjadi budak trend. Terbukti ketika kita melihat menjamurnya para pedagang batik dari dalam pasar swalayan yang paling mewah sekalipun ataupun di pinggir jalan dan stasiun kereta.
Batik memang harus diapresiasi sebab inilah jati diri bangsa kita. Tetapi pada prakteknya, kita harus malu karena baru sekarang kita bangga memakai busana bermotif batik. Padahal dalam perspektif sejarahnya, banyak dari kita yang sesungguhnya tidak mengetahui bahwa pembuatan batik berhubungan dengan aktifitas pembuatan kain tenun yang terikat dengan penanaman kapas, pembuatan dan pemintalannya. Juga bahan lain seperti penetasan ulat sutra, dan benang filamen dari kepompong. Kedua bahan ini (kapas dan sutra) pengadaanya terikat oleh musim. Lalu bahan baku utama adalah malam yang dicampur minyak kelapa dan cairan pewarna. Ditambah dengan air dari abu merang dan ekstrak air kapur.


Kebiasaan membuat ragam hias dengan motif ini sudah dikenal sejak masa pelukisan dinding gua. Pada masa itu ada seni melukis gua (sekitar masa berburu). Lukisan dinding ini banyak ditemui di Sulawesi selatan, Sulawesi tenggara, P. Muna, P. Seram, Irian, dan Kalimantan. Di daerah-daerah ini terdapat lukisan tangan yang merintangi pigmen merah. Lukisan ini menggambarkan tangan sebagai kekuatan pelindung dari roh jahat yang tergambar oleh warna merah. Jadi, teknik rintang pada tekstil pada dasarnya dipengaruhi oleh kepercayaan[2].
Ragam hias batik sendiri pada masa awalnya terbagi dalam dua kelompok. Pertama, batik kraton. Batik ini tumbuh diatas dasar-dasar filsafat, budaya Jawa dan mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta dan yang tertib, serasi, seimbang.Batik jenis ini banyak dipengaruhi tata karma Jawa. Batik kraton tampil dalam ikonografi yang cenderung bernuansa kontemplatif, tertib, simetris, dan bertata warna terbatas pada coklat soga dan biru nila. Kedua, adalah batik pesisir. Batik jenis ini terdapat di luar benteng kraton. Dibuat sebagai kerja sambilan, dan sebagai medium berungkap yang bebas, tidak terpaku pada nilai religio magis, coraknya spontan, kasar dan bebas.
Perdagangan yang menjadi kiblat batik pesisir juga menggoda para pedagang Cina dan wirausaha muslim. Mereka terjun ke usaha batik pada sekitar abad ke-18. Selain itu, antara tahun 1840-1940, pedagang Indo-Belanda juga mulai membuka kegiatan dalam perdagangan batik. Belum ada bukti yang jelas apakah Oey Tiong Ham yang oleh Onghokham disebut sebagai “the first modern business conglomerate in southeast Asia” juga terlibat dalam perdagangan batik[3].
Jati diri yang semakin terkikis. Terlihat dari dengan mudahnya pengaruh asing yang masuk ke dalam kehidupan bangsa. Merasuk sampai ke sumsum tulang kita dan menjadi pengendali kehidupan kita. Harus disadari juga bahwa secara tidak sadar, kita telah menjadi budak kolonialisme dan imperialisme. Suatu hal yang sangat dilarang oleh Soekarno ketika menjalankan politik anti-Nekolim.


Generasi muda kita menjadi ladang subur bagi praktek kolonialisme dan imperialisme. Hanya saja, bentuknya kini berbeda. Jika dulu pemerintah Hindia Belanda melakukan nya secara fisik, kini para kaum kapitalis melakukan nya secara psikis. Apa yang menjadi sarananya tidak lain adalah faktor ekonomi dan politik uang. Seperti kehilangan nilai intelektualitasnya, banyak anak muda yang lebih mengangungkan produk-produk dari luar sedangkan melupakan batik yang menjadi jati diri bangsa. Masalah selera memang sangat bebas dan tidak boleh diatur oleh siapapun tapi pertanyaan nya adalah mengapa selera mereka sangat terpengaruh oleh trend yang ditawarkan oleh para kapitalistik? Dan ketika batik mulai “nge-trend” lalu semua berganti selera menjadi “batik-sentris“ Apakah ini selera pribadi mereka ataukah hanya ikut-ikutan dan melupakan sisi intelektualnya?
Ironis dan menyedihkan bangsa kita memiliki penerus yang tidak lagi menjaga warisan budaya bangsa tetapi sekedar menjadi budak trend dengan menelan mentah-mentah apa yang diberikan oleh orang asing. Seperti calon nahkoda yang kehilangan arah, Kapal besar Indonesia tidak jelas berlayar kemana. Padahal kalau kita mau, yang seharusnya terjadi sebetulnya adalah kita mampu memasarkan batik ke luar negeri sampai batik menjadi trend di luar Indonesia. Itu berarti eksistensi budaya kita bisa mendobrak sistem yang berlaku dan kita menjadi agen perubahan (agent of change) dalam revolusi yang digalakkan Soekarno[4].
Dengan memperhatikan perspektif sejarah masa lalu dan dengan melihat situasi di masa kini, saya menyarankan pada kita semua untuk berubah dan berani mengambil sikap untuk mengapresiasi batik dengan “baik dan benar” menurut tatanan budaya bangsa Indonesia. Karena hal ini begitu penting untuk perkembangan anak dan cucu kita di masa depan. Dan jika kita tidak mampu berubah, jika kita tidak bisa merdeka dan lepas dari belenggu perbudakan Neo Kolonialisme dan Imperialisme, kita sebaiknya dengan rendah hati dan rasa malu yang begitu berat harus berterimakasih kepada Malaysia yang secara tidak langsung menjadi pemicu trend Batik di Indonesia.***

8 & 10 Mei 2008
Pk 10.29 & Pk 15.42


[1] Pidato Soekarno panca program front nasional ; Arsip Nasional RI
[2] “Indonesia indah” jilid 8 ; Yayasan harapan kita / BP3 TMII
[3] Onghokham : “The thugs, the curtain thief, and the sugar lord ; power, politics, and culture in colonial Java” ; Metafor publishing . 2003
[4] Tentang agent of change banyak dibahas dalam diskusi mengenai pendekatan strukturis dan structural dalam penulisan sejarah