Kamis, 17 Juli 2008

Nasionalisme dan Kapitalisme dalam Dunia Pendidikan

Dunia pendidikan adalah dunia pembentukan. Dalam fase ini seorang manusia mengalami pembentukan karakter. Pendidikan dasar membentuk manusia yang bisa membaca dan menulis, pendidikan menengah membentuk manusia menjadi individu yang utuh, sehingga siap menhadapi pendidikan tinggi yang mana pada fase tersebut manusia dibentuk menjadi ahli-ahli yang siap memasuki dunia kerja dan usia produktif. Dunia pendidikan seperti ini penerapan nya sama di Negara maju ataupun Negara berkembang. Perbedaan hanya terletak pada aplikasi dan kebijakan-kebijakan nya. Tulisan ini mencoba mengungkap sisi lain dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Hal yang menarik adalah ketika pendidikan menengah tidak mampu berperan sebagai tahap character building, pembangunan karakter yang membuat individu manusia menjadi “berhati”. Padahal pada fase pendidikan menengah, manusia sedang berada dalam usia remaja, mulai beranjak dewasa. Sebuah fase yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Dalam fase ini manusia-manusia yang menempuh pendidikan menengah di Indonesia, sampai pada saat yang tepat dimana ia harus mulai sadar akan rasa nasionalisme nya sebagai bangsa Indonesia. Sebagai manusia Indonesia. Hal ini penting karena pada saatnya nanti, manusia inilah yang akan menjadi Nahkoda “kapal” Indonesia dalam mengarungi samudera zaman. Tidak terbayangkan apabila institusi pendidikan menengah kita terlena dan melupakan tanggung jawab besar ini.

Satu hal yang dapat kita cermati dalam pembentukan nasionalisme dalam institusi pendidikan menengah adalah kegiatan upacara bendera. Suatu kegiatan simbolik namun sangat dalam maknanya. Nyatanya, pada era globalisasi ini upacara bendera semakin terlupakan. Terlebih di sekolah-sekolah menengah swasta dan internasional atau juga di sekolah nasional plus di Jakarta. Upacara bendera itu simbol yang sangat sederhana dalam perwujudan rasa nasionalisme. Apakah nsionalisme didengungkan hanya pada event-event olahraga saja? Kalau kita cermati, upacara bendera itu semakin terdepak dari gaya hidup remaja kita yang semakin kehilangan jati diri, kebarat-baratan, tanpa semangat juang, tidak bisa bekerja, dan dimanjakan oleh teknologi. Bahkan seorang novelis dalam sebuah karyanya menyatakan bahwa remaja kita sekarang adalah generasi sampah yang menjadi sampah peradaban.

Upacara bendera tidak berkaitan dengan kesejahteraan. Materialisme membutakan kita semua. Setiap tanggal 17 kini kita sulit merasakan nasionalisme menggelora di institusi pendidikan dalam sebuah upacara bendera karena nyatanya, gaji guru sudah lama sekali tidak ada perubahan. Dalam keadaan seperti ini, sulit sekali pendidikan kita bisa maju. Kalau kita mencari akar permasalahan nya, yang menjadi kambing hitam tentu pemimpin di sekolah, yang dalam hal ini kepala sekolah. Segala kebijakan umum mengenai operasional sekolah ada pada tanggung jawabnya. Kebijakan yang bersifat khusus pun harus melalui persetujuan nya. Jika kita ibaratkan kepala sekolah adalah pemimpin masyarakat dan civitas academica lain adalah rakyatnya, maka ada salah satu konsep politik filsafat kenegaraan dalam kultur Jawa- Bali yang terkenal, “Manunggaling Kawula Gusti”[1] yang di dalamnya menjelaskan hubungan antara pemimpin dengan rakyat sebagai pribadi yang akrab, saling mengasihi dan menghormati yang dianggap sebagai model baku dalam komunikaso social. Pada prakteknya, jarang sekali ada pemimpin bijaksana di Indonesia karena seorang pemimpin itu juga berasal dari rakyat yang tidak sempurna.

Uang memang banyak menjadi sumber masalah, tapi manusia akan merasa sejahtera bila memiliki banyak uang. Dalam kehidupan social, uang juga banyak menimbulkan masalah. Hal ini tidak bisa dihindari. Braudel dalam sebuah bukunya mengungkapkan bahwa “Above all money is never an isolated reality, wherever it is, it influences all economic and social relationship”[2]. Uang pun menjamah sekolahan. Tak bisa dipungkiri, biaya pendidikan semakin melambung. Sekolah swasta dan sekolah-sekolah internasional di Jakarta bahkan menetapkan biaya spp sampai puluhan juta rupiah. Mungkin ada baiknya, sebelum menimbulkan masalahdi instansi pendidikan dan lagi-lagi mencoreng wajah kita sebagai generasi muda, audit lembaga pendidikan dijalankan dan komisi pemberantasan korupsi mulai masuk ke lembaga-lembaga pendidikan. Karena masalah korupsi Negara ini harus diobati dari akarnya.

Harus diakui dan tentunya disadari, para pemuda kita di masa kini telah banyak menjadi korban. Tekanan ekonomi yang berat membuat pendidikan dikondisikan untuk menghadapi dunia kerja semata. Jembatan antara pemuda kaya dan miskin semakin sulit dilalui. Pemuda kita dari golongan ekonomi lemah sulit mendapatkan pendidikan yang baik. Sedangkan pemuda kita dari golongan ekonomi kuat, banyak sekali yang justru enggan undtuk mengejar pendidikan yang baik. Mereka banyak dimanjakan, terbiasa hidup mudah, digoda oleh gaya hidup hedonis, mentalitas mall, dan menjadi sampah peradaban.[3]

Ada sebuah perbandingan menarik tentang pemuda secara umum. Dalam sebuah laporan yang disampaikan kepada siding konferensi UNESCO ke-21,[4] disebutkan bahwa apabila pada tahun 1960-an pemuda di bagian-bagian dunia tertentu ditantang oleh adanya krisis kebudayaan, cita-cita dan lembaga, maka pada tahun 80-an pemuda harus menghadapi krisis struktur ekonomi yang tidak menentu dan bahkan kemiskinan. Ini menarik, ketika kita bercermin kepada kecenderungan tersebut, pemuda di Indonesia pada zaman sekarang (globalisasi) mungkin harus menghadapi tantangan lain yaitu krisis kepercayaan diri, krisis jati diri, dan krisis semangat juang. Sederhananya, pemuda sekarang adalah mereka yang lahir pada medio 1980-an ketika orangtua mereka harus menghadapi tantangan ekonomi pada saat itu. Maka mereka yang sekarang tergolong pemuda, sedikit banyak telah merasakan keberhasilan orangtua mereka melewati krisis ekonomi th 80-an tersebut.

Disini, kita bisa melihat, kapitalisme menjamah dunia pemuda. Dunia mereka harusnya adalah dunia sekolah. Sekolah-sekolah banyak akrab dengan jargo seperti “tajir”, “borju”, ”matre” dan lainnya. Sebagai masyarakat yang sensitive, saya melihat ini sebagai efek dari tekanan ekonomi global pada 1980-an. Efek jangka panjang tersebut bisa ditemukan dari lembaga pendidikan bagi pemuda zaman sekarang. Tidak heran ketika biaya pendidikan terus melambung.
Sejarah selalu memberi pelajaran. Kesalahan pada masa lalu jangan sampai terulang. Kita bisa mulai membangun lagi dunia pendidikan nasional yang gagah. Jika yang diributkan hanya sekitar ujian nasional, spp, dan buku-buku pelajaran yang melambung harganya, kapan kita bisa bergerak maju? Apakah kita harus kembali mencari kebangkitan dan semangat ke STOVIA tahun 1908? Saya pikir guru dan kepala sekolah pada masa kini adalah manusia yang bijaksana, yang punya semangat nasionalisme tinggi dan tidak menjadi budak kapitalis. Sehingga murid-murid bisa dengan bijak belajar menuntut ilmu untuk membangun bangsa. Karena, “hanya angkatan muda yang bisa menjawab”. Begitu orasi Pramoedya Ananta Toer ketika ditanya bagaimana membuat bangsa Indonesia menjadi lebih baik.[5]



Kelapa Gading
14, 15 & 16 Juli 2008
Pk 00.52
Catatan kaki

[1] Ahmad Bahar ; Presiden ketiga ; pena cendekia, Yogyakarta, 1997.

[2] Fernand Braudel ; Capitalism and Material life 1400-1800 ; William Collins & co ltd Glasgow ; 1977.

[3] Istilah “sampah peradaban” saya pinjam dari E.S.Ito dalam novelnya Negara kelima ; serambi ; 2008.

[4] Prospek Pemuda dalam tahun 1980-an ; himpunan laporan kepada konperensi umum UNESCO pada sidangnya yang ke-21 ; balai pustaka ; 1982 . hal 20.

[5] Kalimat Pram ini saya pinjam dari sebuah essay tentang mahasiswa, ditulis oleh seorang sahabat, Roy Thaniago.