Minggu, 28 Desember 2008

Sekali lagi untuk Astuti

Keramaian dalam sebuah perayaan menyimpan sebuah pesan
Ketika lima orang tertawa dan lima orang sudah terbiasa
kita tidak lagi bisa merasa kasihan
sebuah perasaan cinta

Keramaian dalam sebuah perayaan menyimpan sebuah harapan
tentang tawa, cinta, dan semua air mata bahagia
Orang boleh mencerca, tapi hati tetap bisa selalu berbicara
mengecap rasa cinta

Kehilangan adalah kegelapan dan kekeringan adalah sebuah tanda
makna yang hilang dalam sebuah perayaan menyingkirkan kebahagiaan

Ketika manusia merindukan bulan
tak seorang kan membantu
kita boleh saja bertingkah mengejar
tapi bulan tetap jauh tinggi di atas.

Tapi ada sebuah kata yang tak pernah terlupa
sebuah kata yang selalu ingin kuucapkan padanya.
sebuah kata "cinta"

Kita tak pernah tahu ada apa di garis terakhir
dan hanya bisa berdoa
untuk mengucapkan nya dengan rasa
Rangkaian kata terakhir

Aku cinta padanya
sekarang dan sampai nyawa berakhir.

28 Desember 2008
sekitar Pk 16.40

Sabtu, 20 Desember 2008

Sedikit tinjauan tentang Buku-buku tentang revolusi,, heh??

Masa revolusi di Indonesia selalu menjadi kontroversi.
Ilmu sejarah (lepas dari doktrin postmodernisme) selalu menawarkan gairah bagi sejarawan
untuk terus berkarya. Tidak terkecuali periodisasi masa revolusi.
Unik, pada masa-masa awalnya revolusi di Indonesia kurang mendapat atensi yang cukup.
Maka George McTurnan Kahin melakukan studi rintisan yang cukup mendalam
tentang masa revolusi di Indonesia.
Karya sejarawan ini tentang revolusi di Indonesia merangsang para sejarawan
lain seperti Benedict Anderson(muridnya), Antony Reid, bahkan Robert Bridson Cribb.

Buku Kahin sebagai salah satu buku "wajib" tentang sejarah revolusi Indonesia
berjudul "Nationalism and Revolution in Indonesia" itu bercerita panjang tentang sifat
nasionalisme yang menjadi akar gerakan revolusi tersebut. Kahin mengatakan bahwa revolusi yang terjadi erat kaitannya dengan sifat homogenitas agama di Indonesia (agama Islam). Metodologi naratif yang diaplikasikan dalam buku tersebut membuat hasil tulisan nya banyak dijadikan rujukan bagi sejarawan lain. Buku yang sampai sekarang masih relevan (terbit di Indonesia sekitar tahun 1959) inilah yang menarik perhatian seorang muridnya untuk melihat dan menampulkan revolusi di Indonesia dari perspektif yang berbeda yang semakin melengkapi historiografi Indonesia.

Dialah Benedict Anderson, murid Kahin yang melakukan studi tentang revolusi di Indonesia yang akhirnya berhasil menuliskan salah satu karya fenomenal dengan judul "revolusi pemuda" (1944-1946). Buku ini memuat sanggahan atas karya Kahin yang mengatakan bahwa revolusi tersebut justru banyak dipengaruhi oleh golongan muda, dan masa revolusi ini adalah masa ketika peran pemuda sangat menentukan disamping tentu tidak terlepas dari golongan tua yang masih memegang kursi kepemimpinan. Lepas dari semua perdebatan mereka tentang revolusi, Antony Reid justru tertarik untuk mencoba menggambarkan revolusi itu secara keseluruhan. Maksudnya, Reid disini memaparkan revolusi sebagai suatu kejadian yang scope nya nasional, kenegaraan. Maka ia menulis dengan bertumpu pada aksi nasional yang didukung oleh aksi aksi yang bersifat kedaerahan. Aksi-aksi lokal memang punya pengaruh dan andil besar dalam aksi revolusi nasional secara keseluruhan. Inilah yang Reid tawarkan dengan bukunya.

Salah satu aksi revolusi yang merupakan pergerakan lokal kedaerahan diangkat oleh Robert Bridson Cribb. "Gejolak Revolusi Jakarta" judul bukunya sudah tentu mengarahkan pola pikir setiap pembaca untuk bertumpu pada wilayah ibukota, Jakarta. Disini Cribb banyak menjabarkan tentang permasalahan otonomi dan hegemoni serta aksi-aksi revolusi di Jakarta. Pergerakan lokal ini menjadi bagian integral dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia
(Cribb : 1991) Dan uniknya, Cribb disini menggunakan metode oral history.

Direvisi dari sebuah laporan singkat
dalam historiografi Indonesia.
oleh : Tyson

Kelapa Gading
20 Des 2008
Pk 11.25

Rabu, 17 Desember 2008

sajak untuk Astuti??

Tantanglah mataku
kecup mesra bibirku
dan seluruh hidupku
hanya untukmu
selalu

Takkan hatiku pergi
tinggalkan jauh perih di hati
Teringat kecup mesra yang tadi
Terbakar perih alir darah di nadi

mmmmmuuuuuuuaaaacccchhhhh,,,,

Kuberikan cinta ini
hanya untukmu kasih

Ardiyanthi..
atau,
atau,
Atau Astuti??

Kelapa gading
18 Desember 2008
sekitar Pk 09.30

Selasa, 09 Desember 2008

Sajak cinta pertama untuk Astuti,,

Pagi itu pertama kita berjumpa
Di depan ribuan judul buku,
ketika warna kemeja senada dengan angkasa

kita saling berpandang,
ketika ku semakin bergetar tak mampu berkata

aku tenggelam dalam cinta
tapi kita tidak bicara.
Hati penuh genderang nafsu tak berirama.
Seperti Charles Swan,
aku ikuti terus bayang bayangmu

Kujadikan kau permaisuri dalam kerajaan khayalku
Sampai aku berani berkenalan denganmu,
juga disaksikan ribuan judul buku

Astuti namamu,

Tapi tak kusangka
aku temukan fakta,
ada si dia yang merantau ke negeri tetangga.

aku kecewa
aku merana
Tak rela aku berbagi Astuti.

tapi apa daya,
aku
bukan siapa-siapa


Kelapa Gading
9 Desember 2008
Sekitar Pk 00.05

Selasa, 25 November 2008

Pergulatan di Atas Jamban*

Hancur hilang musnah sudah
Sudah hilang hancur musnah
Pergi jauh tak berbekas
Jauh pergi berbekas hampa
cukup dengan duduk saja

Hapus buang kertas bergincu
Lepas bebas pekat mengganggu
Dalam tubuh dalam daging bernyawa
Dalam daging hampa terhempas
cukup dengan duduk saja

Lariiiiiiiiiiii,,,,,,,
Cuciiiiiiiiii,,,
Hapuskan semua beban.
Tinggalkan semua bimbang
cukup dengan duduk saja

Kelapa Gading
22 Nov 08
Pk 15.25

*sajak ini untuk buletin sejarah di FIB UI Depok

Karakter-Karakter yang Mengisi Toilet*

Jakarta : Di tebing Ciliwung yang busuk dan Rusak, terkadang ada burung, terkadang kupu-kupu. Warna-warna yang tak diacuhkan…… Saya kira semuanya mungkin. Tuhan mencipta. Ia tak merancang. (Goenawan Mohamad)

Di tebing Ciliwung yang sekarang sudah menjadi salah satu tempat paling hina di kota yang paling megah ini, ternyata (menurut Goenawan Mohamad) masih bisa dijumpai sebuah kehidupan indah yang bukan lagi milik manusia. Burung dan kupu-kupu. Makhluk inilah yang mempunyai kegembiraan dan keceriaan yang menemani anak-anak manusia tidak berdosa yang terlahir dari keluarga yang tinggal di bantaran sungai itu. Ciliwung adalah sungai paling terkenal di ibukota. Orang bilang, Ciliwung membelah kota Jakarta menjadi dua. Ciliwung bukan toilet umum, Ciliwung bukan jamban, tetapi aktivitas yang seharusnya dilakukan di toilet umum dan jamban, dilakukan juga di Ciliwung. Untuk memahami “fenomena” Ciliwung itu, perlu adanya suatu pemahaman tentang karakter manusia para pengguna toilet pada umumnya. “Toilet” dan “umum”, dua kata yang jika disatukan akan membentuk ruangan yang secara imajiner bisa tercium dalam pikiran kita. “toilet umum” adalah tempat umum yang digunakan untuk urusan pembuangan. Namun persoalan nya adalah karakter pembuang kotoran itu berbeda-beda.

Untuk mempersempit ruang penelitian, dalam tulisan saya payungi pembahasan kita hanya pada toilet umum pria saja. Karakter pertama adalah orang yang cuek. Pria ini tidak terlalu peduli apakah pintu toilet terbuka atau tertutup ketika ia buang air kecil. Ia bahkan dengan seenaknya membuang ludah pada urinoir tempat dia sekaligus buang air seni di saat yang sama. Tidak hanya itu, ia bahkan tidak sempat mencuci tangan ketika merapihkan rambut di kaca toilet umum tersebut. Karakter kedua adalah pria yang cukup memperhatikan kebersihan. Ia mencuci tangan setiap kali buang air kecil, lalu mengambil kertas tissue untuk lap tangan, lalu membuang nya ke tempat sampah yang telah disediakan. Lalu karakter ketiga adalah pria yang sangat religius. Ia tidak mau buang air seni di urinoir. Alasan nya, tentu saja karena ketika menggunakan urinoir, ia kesulitan ketika mencuci alat kelamin nya. Akhirnya pria ini memilih kloset duduk atau jongkok yang terletak di dalam ruang kecil.Mungkin ini hanyalah klasifikasi kasar yang tidak fundamental, namun begitu rasanya cukup beralasan jika toilet disebut sebagai suatu yang useful and universal. Semua karakter menggunakan toilet untuk sesuatu yang sama. Tidak peduli Ras, agama, ataupun usia dan status sosial, semua menjadi satu di dalam Toilet umum. Semuanya itu terkonsentrasi ke dalam satu saluran yang universal. Universalitas ini harus dibanggakan, mengingat manusia yang beraneka ragam itu ternyata (dengan tidak disadari langsung oleh mereka sendiri) telah bersatu di dalam satu saluran pembuangan melalui satu pintu, toilet umum. Mungkin tidak ada persatuan dalam partai, Negara, ataupun organisasi di luar toilet umum yang sebagus dan se solid persatuan kotoran mereka di dalam toilet umum. Dalam sebuah toilet umum, sering terdapat kaca yang digunakan untuk berias. Kaca digunakan juga untuk konotasi berefleksi diri, herhalen, mengulang lagi dan mengingat kembali apa yang telah kita capai atau kita lakukan dalam hidup. Ini merupakan salah satu aspek yang tak terselampai, didapat dalam kekosongan ketika manusia sedang dalam kesepian dan mungkin kesendirian.

Renungan toilet, adalah sesuatu yang sangat privasi. Tapi dalam toilet umum ternyata ada penghuni tetap yang selalu ada di tempatnya. Ini karakter keempat yang merupakan pria yang sangat berdedikasi pada pekerjaan. Dia sangat menjaga kebersihan, menyiapkan segala keperluan seperti tissue dan kelengkapan cuci lain. Dialah penjaga toilet umum. Dalam kesendirian dan permenungan dia bisa memperoleh penghasilan yang meskipun sangat kecil namun bisa menyokong ongkos hidupnya, menyambung hari demi hari. Suatu karakter dalam toilet seperti ini seakan menandai kejamnya Jakarta dan kejamnya penduduk Jakarta yang notabene telah secara langsung dan tidak langsung juga telah merusak Ciliwung. Namun begitu, karakter seperti penjaga toilet justru menunjukkan juga sisi positif adanya kemauan untuk bekerja. Tidak hanya meminta namun ada kemauan bekerja. Seseorang di pinggir pantai dalam kondisi normal ibaratnya seharusnya lebih senang diberi kail dan jala daripada hanya diberi ikan.

Terlalu banyak hal yang mendukung operasi toilet umum. Ternyata tidak hanya di Ciliwung saja ada kehidupan damai burung dan kupu-kupu tapi juga di toilet umum. Kotoran yang dipersatukan dalam satu saluran itu menunjukkan sekali lagi bahwa manusia dalam ketelanjangan dan kesendirian sebagai individu itu tidaklah bisa dibeda-bedakan. Semua manusia itu setara dan sederajat. Yang membedakan mungkin jabatan nya, usianya, jenis kelamin nya, status sosialnya, ras nya, atau agamanya tetapi di dalam satu ruangan permenungan, satu ruangan yang tidak tak tersentuh itu, ruangan suci yang tidak bisa menutupi kebohongan itu, semua manusia dianggap sama. Dipersatukan kotoran nya, dan tidak ada lagi klasifikasi sosial. Lalu selalu ada satu sudut dalam pikiran kita tentang suatu objek yang dipikirkan. Sebuah komparatif naratif yang akan selalu mengganggu pikiran apalagi ketika menyentuh hasrat intelektualitas kita. Pikiran kita akan bertanya, apakah kita yang seharusnya merawat dan mencintai toilet di kampus kita ini tega merusak, mengotori atau dengan seronok merokok di dalam ruang toilet yang useful dan universal itu? Jika tega, apakah kita tega juga terhadap burung dan kupu-kupu yang seharusnya hidup damai di toilet seperti di Ciliwung? Kita sering lupa saudaraku, bahwa tanpa ruang-ruang toilet itu kita akan selalu kerepotan.

*tulisan untuk buletin sejarah FIB UI Depok.

Senin, 10 November 2008

Renungan

Yang sekuler dan yang religiSelamanya akan tetap jadi dua hal.Banyak perselisihan justru hanya karena soal kecil.Saya teringat tentang pernyataan Afrizal Malna,“sesuatu Indonesia”Dan memang terbukti, di dalam Indonesia ituBanyak terdapat “sesuatu”, bahkan Indonesia sendiri Adalah “sesuatu”.Ketika sastrawan Perancis, Balzac pernah bilangBahwa Jawa adalah suatu yang indah, makaJawa adalah “sesuatu”Zaman sekarang memang sulit untuk ditebak.Kata Goenawan Mohamad, banyak orang bersaing Menyuarakan kesolehan lewat pengeras suara,Ini juga “sesuatu”Yang sekuler dan religi tentu sulit ditemui Selamanya (kalau mungkin) akan sulit bersatu.Karena yang sekuler itu adalah “sesuatu”Dan sudah jelasYang religi itu ternyata juga adalah “sesuatu”

Kelapa Gading
9 November 2008
Pk 21.17

10 November 1866

10 November 1866, ketika Batavia masih sepi (setidaknya dibandingkan dengan sekarang). Pada tanggal ini di Batavia 142 tahun yang lalu, pangeran muda
Duc de Penthieve datang ke pulau Jawa.

Ia diikuti oleh Comte de Beauvoir yang menulis catatan perjalanan sehari di Batavia,
Yang menggambarkan suasanan Batavia yang ternyata jauh dari masa kini.

Saya jadi terbayang sejuknya Jakarta (Batavia) masa itu tentu jauh dari hari ini. Mungkin seperti Bogor di masa sekarang. Tapi itu sudah berlalu 142 tahun yang lalu.
Tentu banyak sekali perubahan dari masa pengeran muda itu datang.

Tapi bukankah harusnya ada nilai-nilai “kesejukan” yang bisa kita bawa dari keteraturan, ketentraman Batavia 1866 untuk kita nikmati di hari ini?

Mungkin lebih baik hidup tenteram dalam aroma kolonialisme,
Atau lebih nyaman hidup komunal dengan masyarakat tanpa kelas,
Daripada merdeka tapi menjadi budak neo-kapitalisme dan imperialisme.

Seharusnya kita bebas memilih.


Kelapa Gading
10 November 2008
Pk 19.41

Rabu, 22 Oktober 2008

Menanti Sang Bidadari

Burung-burung itu masih lantang bernyanyi
Memecah kejamnya kesunyian pagi hari

Patung-patung dan gua belum terlihat jelas
Karena matahari belum berubah terik mengganas

Obrolan manusia beradu keras dengan dengung mesin AC
Membuat kesejukan pagi terasa cepat pergi menjauh

Tong-tong sampah masih berwarna kuning
Dan manusia tetap tidak tega membuang ke dalamnya

Lantai-lantai licin yang baru dicuci
Dirusak lagi oleh sepatu wanita yang tidak berhati

Kesendirian ditemani oleh sebatang rokok,
Berisiknya gantungan kunci dan manusia-manusia berdosa
Yang merusak suasana Depok yang asli

Aku berteriak mencari
Bidadari dari Nagasaki

6 Oktober 2008
Selasar Gd VI FIB UI, Depok
Sekitar Pk 07.05

Jumat, 10 Oktober 2008

Untitled

Hatiku tercecer dalam perjalanan rutin
Antara Depok-Jakarta

Ada ibu-ibu menagih setoran iba
Di lantai stasiun kereta
Diiringi anak-anak berlari kesana kemari
Mencari serpihan harta

Aku melangkah lunglai
Melalui pemulung yang mengais rezeki
Di tong tong sampah

Kutunggu kereta dating
Membawa gelandangan yang menyapu lantainya
Di kecepatan 100 km/jam
Dan kudapati pengemis memohon uang seribuan
sambil menangis

Aku turun dan kujumpai
Pria paruh baya menawarkan jasa
Angkutan roda dua
Separuh nyawa menjadi konsekuensinya

Aku menangis
Ketika di jalan lain kudapati
Gadis itu telah berubah dan
Pindah ke lain hati

Aku hanya bisa berpikir,
Berpikir lagi, lalu kutuliskan,
Menulis lagi, lagi, dan hanya
Menulis lagi

Karena aku menulis agar mereka tau
Aku berteriak di dalam hati.

Jumat 10 Oktober 08
Dalam perjalanan Depok-Jakarta
Sekitar Pk 18.30

Kamis, 09 Oktober 2008

Separatisme Berkedok Budaya di Indonesia

Separatisme pada umumnya diartikan oleh masyarakat kita sebagai bentuk paham yang memecah belah atau memisahkan kelompok tertentu dari kesatuannya. Namun demikian, yang terjadi tampaknya separatisme terwujud tanpa disadari oleh masyarakat. Seringkali berbagai hal yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dalam arti luas terjadi atas alasan tertentu, misalnya konflik etnis, sosial, politik, agama dan tentu saja semua itu terkait dengan budaya bangsa ini. Lalu timbul pertanyaan dalam pikiran saya, apakah benar separatisme telah menjadi budaya bangsa kita?

Separatisme sudah tentu menjadi momok bagi perjalanan bangsa kita dalam menghadapi tantangan globalisasi. Sulit dibayangkan ketika begitu hebatnya “serbuan” intervensi asing masuk ke Indonesia, kita justru sedang sibuk mengatasi masalah dan konflik-konflik intern yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Kita harus mulai mencari penyelesaian yang efektif sehingga tidak perlu berlarut-larut “melawan” rakyat sendiri yang seharusnya bekerjasama menghadapi masa depan. Sangat disesali, selama ini bangsa kita tampaknya tidak dibekali dengan moral dan karakter yang baik. Dalam hal ini, banyak sekali contoh yang bisa kita lihat dan buktikan sendiri.

Dewasa ini kita dipaksa untuk semakin menyadari bahwa selain bangsa ini terpuruk dalam bidang ekonomi, sosial, dan bahkan teknologi, kita juga telah gagal dalam hal pembangunan moral dan karakter manusia Indonesia. Saya pikir ini menjadi salah satu akar dari masalah separatisme yang berkedok budaya di Indonesia. Ditambah lagi kelangkaan figur seorang negarawan sejati di Indonesia amat kita sesali mengingat betapa pentingnya kepemimpinan yang baik dalam menghadapi tantangan global di masa yang akan datang. Dalam arti sempit, kita kesulitan mencari orang yang sungguh-sungguh kompeten dalam menjalankan pemerintahan.

Ironis memang, bahwa pemerintah kita sekarang justru sibuk dengan penanganan bencana alam, kasus Lapindo yang sudah semakin berlarut-larut, pemilihan calon presiden tahun 2009 dan beragam hal lainnya yang memecahkan konsentrasi pembangunan bangsa. Menjadi sangat menyedihkan karena hal ini membawa masyarakat ke jurang kemiskinan yang lebih dalam dan membuat rakyat kecil semakin terperosok. Tidak mengherankan jika kasus-kasus separatisme sangat mudah terjadi di Negara yang sedang dalam kondisi seperti ini.

Sementara itu, tampaknya kita masih sangat sulit menghapus “mental jajahan” yang masih ada dalam diri kita. Kita masih bertindak layaknya seperti manusia-manusia yang dijajah oleh bangsa lain. Kita masih selalu menurut pada penguasa, kita masih terlalu mudah setuju dengan kebijakan pemilik modal yang mementingkan dirinya sendiri dan selalu hormat pada orang-orang yang kuat secara materi. Harus diakui, banyak dari kita orang muda negeri ini yang memandang materi sebagai pusat penghormatan. Kita dijajah oleh pemodal asing. “Mental jajahan” ini memang sulit sekali diperbaiki karena bangsa ini terlalu lama dijajah oleh bangsa asing. Mental seperti ini tentu sangat mempengaruhi perilaku kita. Kita dengan mudah terpengaruh oleh godaan-godaan semu yang menggiurkan yang kita dapatkan dari tindakan separatis. Inilah bahayanya, penjajahan di Indonesia sekarang serupa tapi tak sama dengan masa kolonial.

Menengok sejarah Indonesia, separatisme selalu identik dengan kekerasan dan konflik sosial. Pada umumnya, konflik-konflik antar agama misalnya ataupun yang mengatas namakan agama di Indonesia selalu berujung pada keinginan merdeka atau melepaskan diri dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Belanda memanfaatkan situasi bangsa kita. Banyak sekali bukti dalam sejarah yang menyatakan bahwa perselisihan antar kerajaan di nusantara justru diakhiri dengan Belanda sebagai ”pemenang”. Dalam perselisihan agama, GusDur, mantan presiden ke-4 Indonesia berpendapat bahwa masalah pokok dalam hubungan antar umat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain,bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain. Ternyata kemudian, saya masih belum mendapatkan jawaban, apakah separatisme telah menjadi budaya di bangsa kita?

Jamban : Satu elemen mempersatukan dunia

Jamban, toilet, kloset, WC (watercloset) adalah beberapa istilah yang mengacu pada alat pembuangan, atau ruangan tempat diposisikannya alat pembuangan yang fungsi utamanya untuk membuang kotoran manusia, air seni dan feses. Mendengar istilah “Kloset”, saya terbayangkan dua jenis kloset. Yang pertama adalah kloset duduk dan yang kedua adalah kloset jongkok. Kloset duduk mempunyai fasilitas penyiraman setelah digunakan dan ternyata pada hari ini, kloset duduk adalah yang paling umum di Eropa. Sedangkan kloset jongkok popular di Asia tenggara, RRC, Jepang, India, serta beberapa Negara Eropa selatan dan Negara-negara Balkan.
Secara sosial, kita juga bisa melihat adanya pengklasifikasian antara dua jenis toilet yaitu toilet umum dan toilet rumahan. Dalam suatu kamus bahasa Indonesia, saya menemukan definisi “toilet” adalah alat-alat berhias. Dalam kamus bahasa Inggris, “toilet-set” diartikan sebagai alat-alat lengkap untuk berdandan termasuktempat sisir dan tempat handuk. Saya membaca sebuah pengkerdilan makna dalam istilah “toilet” dalam bahasa percakapan kita. Namun begitu, kita boleh-boleh saja terus memaknai toilet dengan arti yang sudah umum berlaku di masyarakat.
Jika kita melakukan sebuah perjalanan ke beberapa toilet umum, bisa ditemukan jejak-jejak sentuhan tangan Belanda dalam pembangunan di Batavia. Di beberapa stasiun di Jakarta misalnya, dalam ruangan yang bertuliskan “toilet” kita akan mendapati posisi kloset yang khusus untuk buang air seni (urinoir) letaknya tidak sesuai dengan karakter umum fisik orang Indonesia melainkan terlalu menyesuaikan dengan karakter Eropa yang umumnya lebih tinggi. Ini hanya contoh sederhana, meskipun tentu saja dalam arus sejarah, kloset terus mengalami perkembangan.
Parit-parit di Mohenjodaro dan kloset peradaban Romawi kuno dianggap sebagai model kloset pertama di dunia. Ada suatu sumber yang menceritakan suatu kejadian di London sekitar tahun 1730, karena padatnya jumlah penduduk ketika itu, warga harus mulai tinggal di rumah-rumah susun kecil. Ketika mereka buang air, mereka melakukan nya di suatu tempat yang mungkin pada masa sekarang kita kenal dengan istilah “pispot”. Dari pispot itu, kotoran dikumpulkan dan dibuang ke selokan. Namun begitu, mereka sering kerepotan bolak-balik naik turun sehingga kotoran itu dibuang begitu saja dari jendela. Efek jangka pendeknya tentu saja kenyamanan yang terganggu. Lalu bisa ditebak, lingkungan menjadi kotor dan penyakit merajalela. Sampai pada tahun 1731 ketika pemerintah London mengeluarkan undang-undang pelarangan membuang kotoran ke jalan, dan barangsiapa melakukan nya, akan dikenai hukuman denda. Ternyata undang-undang itu tidak mampu mengubah kebiasaan mereka. Inovasi terus dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Sejarah mencatat suatu fenomena besar yang cukup sukses adalah inovasi yang dilakukan oleh Alexander Cummings pada 1775 yang menemukan kloset bilas tak berbau yang disebut Valve Closet. Rahasianya adalah dengan menggunakan saluran pembuangan leher angsa atau mirip huruf S. Bentuk ini membuat air menggenang di leher angsa tersebut,dan menghalangi keluarnya bau kotoran.
Dalam kehidupan di lingkungan kumuh di pinggiran Jakarta sekarang, hal yang serupa tapi tak sama terjadi seperti di London tahun 1730an itu. Lingkungan semakin kotor dan penyakit siap menyerang. Celakanya pemerintah bagaikan kehabisan akal dan menyerah apalagi dengan bertambahnya jumlah penduduk terkait dengan urbanisasi tahunan. Kalaupun ada jamban (istilah “jamban” saya gunakan karena ini popular di lingkungan masyarakat kumuh), jamban itu adalah jamban umum yang digunakan oleh sekian banyak orang di lingkungan yang sama. Bagaikan satu dosen yang melayani nafsu intelektual ribuan mahasiswa dalam perkuliahan. Tentu saja hal seperti itu tidak efektif, tidak dapat melayani dengan maksimal.
Kloset, adalah elemen penting yang menyangkut hidup setiap manusia di dunia. Kalau kita baca di tembok dalam salah satu toilet jongkok pria di gedung IX FIB UI Depok, entah siapa penulisnya tapi saya pikir logikanya benar, bahwa setiap manusia meskipun ia tercantik dan tertampan di dunia ini tidak akan pernah dapat menghindari perasaan mulas, atau setidaknya ingin buang air besar maupun kecil. Inilah yang membuat kloset mampu menyatukan dunia. Lalu apabila elemen sederhana seperti toilet ternyata dapat bermanfaat dan menolong kita di saat sakit perut, mengapa perpustakaan FIB yang luar biasa itu tidak kita manfaatkan sebagai tempat yang menolong kita dari kebutaan ilmu dan intelektualitas? Sehingga kita tidak hanya membuat kebisingan dengan mengobrol, pacaran, bercanda atau telponan namun mencoba duduk tenang seperti di kloset duduk, sambil membaca buku.

Rabu, 27 Agustus 2008

Berpikir tentang Kantin

Aku sedang sendirian, ketika

udara masih terasa sejuk dan nyaman
ketika 40% manusia masih terlelap

kesunyian dipecah oleh musik asik
dan pekerja menyiapkan makanan untuk pendosa

kehijauan mulai tampak ketika bulan baru saja pergi
manusia membekali diri dengan segelas kopi dan sebatang rokok

aku sedang sendirian.

Kansas, FIB UI
210808
Pk 7.30

Kamis, 17 Juli 2008

Nasionalisme dan Kapitalisme dalam Dunia Pendidikan

Dunia pendidikan adalah dunia pembentukan. Dalam fase ini seorang manusia mengalami pembentukan karakter. Pendidikan dasar membentuk manusia yang bisa membaca dan menulis, pendidikan menengah membentuk manusia menjadi individu yang utuh, sehingga siap menhadapi pendidikan tinggi yang mana pada fase tersebut manusia dibentuk menjadi ahli-ahli yang siap memasuki dunia kerja dan usia produktif. Dunia pendidikan seperti ini penerapan nya sama di Negara maju ataupun Negara berkembang. Perbedaan hanya terletak pada aplikasi dan kebijakan-kebijakan nya. Tulisan ini mencoba mengungkap sisi lain dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Hal yang menarik adalah ketika pendidikan menengah tidak mampu berperan sebagai tahap character building, pembangunan karakter yang membuat individu manusia menjadi “berhati”. Padahal pada fase pendidikan menengah, manusia sedang berada dalam usia remaja, mulai beranjak dewasa. Sebuah fase yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Dalam fase ini manusia-manusia yang menempuh pendidikan menengah di Indonesia, sampai pada saat yang tepat dimana ia harus mulai sadar akan rasa nasionalisme nya sebagai bangsa Indonesia. Sebagai manusia Indonesia. Hal ini penting karena pada saatnya nanti, manusia inilah yang akan menjadi Nahkoda “kapal” Indonesia dalam mengarungi samudera zaman. Tidak terbayangkan apabila institusi pendidikan menengah kita terlena dan melupakan tanggung jawab besar ini.

Satu hal yang dapat kita cermati dalam pembentukan nasionalisme dalam institusi pendidikan menengah adalah kegiatan upacara bendera. Suatu kegiatan simbolik namun sangat dalam maknanya. Nyatanya, pada era globalisasi ini upacara bendera semakin terlupakan. Terlebih di sekolah-sekolah menengah swasta dan internasional atau juga di sekolah nasional plus di Jakarta. Upacara bendera itu simbol yang sangat sederhana dalam perwujudan rasa nasionalisme. Apakah nsionalisme didengungkan hanya pada event-event olahraga saja? Kalau kita cermati, upacara bendera itu semakin terdepak dari gaya hidup remaja kita yang semakin kehilangan jati diri, kebarat-baratan, tanpa semangat juang, tidak bisa bekerja, dan dimanjakan oleh teknologi. Bahkan seorang novelis dalam sebuah karyanya menyatakan bahwa remaja kita sekarang adalah generasi sampah yang menjadi sampah peradaban.

Upacara bendera tidak berkaitan dengan kesejahteraan. Materialisme membutakan kita semua. Setiap tanggal 17 kini kita sulit merasakan nasionalisme menggelora di institusi pendidikan dalam sebuah upacara bendera karena nyatanya, gaji guru sudah lama sekali tidak ada perubahan. Dalam keadaan seperti ini, sulit sekali pendidikan kita bisa maju. Kalau kita mencari akar permasalahan nya, yang menjadi kambing hitam tentu pemimpin di sekolah, yang dalam hal ini kepala sekolah. Segala kebijakan umum mengenai operasional sekolah ada pada tanggung jawabnya. Kebijakan yang bersifat khusus pun harus melalui persetujuan nya. Jika kita ibaratkan kepala sekolah adalah pemimpin masyarakat dan civitas academica lain adalah rakyatnya, maka ada salah satu konsep politik filsafat kenegaraan dalam kultur Jawa- Bali yang terkenal, “Manunggaling Kawula Gusti”[1] yang di dalamnya menjelaskan hubungan antara pemimpin dengan rakyat sebagai pribadi yang akrab, saling mengasihi dan menghormati yang dianggap sebagai model baku dalam komunikaso social. Pada prakteknya, jarang sekali ada pemimpin bijaksana di Indonesia karena seorang pemimpin itu juga berasal dari rakyat yang tidak sempurna.

Uang memang banyak menjadi sumber masalah, tapi manusia akan merasa sejahtera bila memiliki banyak uang. Dalam kehidupan social, uang juga banyak menimbulkan masalah. Hal ini tidak bisa dihindari. Braudel dalam sebuah bukunya mengungkapkan bahwa “Above all money is never an isolated reality, wherever it is, it influences all economic and social relationship”[2]. Uang pun menjamah sekolahan. Tak bisa dipungkiri, biaya pendidikan semakin melambung. Sekolah swasta dan sekolah-sekolah internasional di Jakarta bahkan menetapkan biaya spp sampai puluhan juta rupiah. Mungkin ada baiknya, sebelum menimbulkan masalahdi instansi pendidikan dan lagi-lagi mencoreng wajah kita sebagai generasi muda, audit lembaga pendidikan dijalankan dan komisi pemberantasan korupsi mulai masuk ke lembaga-lembaga pendidikan. Karena masalah korupsi Negara ini harus diobati dari akarnya.

Harus diakui dan tentunya disadari, para pemuda kita di masa kini telah banyak menjadi korban. Tekanan ekonomi yang berat membuat pendidikan dikondisikan untuk menghadapi dunia kerja semata. Jembatan antara pemuda kaya dan miskin semakin sulit dilalui. Pemuda kita dari golongan ekonomi lemah sulit mendapatkan pendidikan yang baik. Sedangkan pemuda kita dari golongan ekonomi kuat, banyak sekali yang justru enggan undtuk mengejar pendidikan yang baik. Mereka banyak dimanjakan, terbiasa hidup mudah, digoda oleh gaya hidup hedonis, mentalitas mall, dan menjadi sampah peradaban.[3]

Ada sebuah perbandingan menarik tentang pemuda secara umum. Dalam sebuah laporan yang disampaikan kepada siding konferensi UNESCO ke-21,[4] disebutkan bahwa apabila pada tahun 1960-an pemuda di bagian-bagian dunia tertentu ditantang oleh adanya krisis kebudayaan, cita-cita dan lembaga, maka pada tahun 80-an pemuda harus menghadapi krisis struktur ekonomi yang tidak menentu dan bahkan kemiskinan. Ini menarik, ketika kita bercermin kepada kecenderungan tersebut, pemuda di Indonesia pada zaman sekarang (globalisasi) mungkin harus menghadapi tantangan lain yaitu krisis kepercayaan diri, krisis jati diri, dan krisis semangat juang. Sederhananya, pemuda sekarang adalah mereka yang lahir pada medio 1980-an ketika orangtua mereka harus menghadapi tantangan ekonomi pada saat itu. Maka mereka yang sekarang tergolong pemuda, sedikit banyak telah merasakan keberhasilan orangtua mereka melewati krisis ekonomi th 80-an tersebut.

Disini, kita bisa melihat, kapitalisme menjamah dunia pemuda. Dunia mereka harusnya adalah dunia sekolah. Sekolah-sekolah banyak akrab dengan jargo seperti “tajir”, “borju”, ”matre” dan lainnya. Sebagai masyarakat yang sensitive, saya melihat ini sebagai efek dari tekanan ekonomi global pada 1980-an. Efek jangka panjang tersebut bisa ditemukan dari lembaga pendidikan bagi pemuda zaman sekarang. Tidak heran ketika biaya pendidikan terus melambung.
Sejarah selalu memberi pelajaran. Kesalahan pada masa lalu jangan sampai terulang. Kita bisa mulai membangun lagi dunia pendidikan nasional yang gagah. Jika yang diributkan hanya sekitar ujian nasional, spp, dan buku-buku pelajaran yang melambung harganya, kapan kita bisa bergerak maju? Apakah kita harus kembali mencari kebangkitan dan semangat ke STOVIA tahun 1908? Saya pikir guru dan kepala sekolah pada masa kini adalah manusia yang bijaksana, yang punya semangat nasionalisme tinggi dan tidak menjadi budak kapitalis. Sehingga murid-murid bisa dengan bijak belajar menuntut ilmu untuk membangun bangsa. Karena, “hanya angkatan muda yang bisa menjawab”. Begitu orasi Pramoedya Ananta Toer ketika ditanya bagaimana membuat bangsa Indonesia menjadi lebih baik.[5]



Kelapa Gading
14, 15 & 16 Juli 2008
Pk 00.52
Catatan kaki

[1] Ahmad Bahar ; Presiden ketiga ; pena cendekia, Yogyakarta, 1997.

[2] Fernand Braudel ; Capitalism and Material life 1400-1800 ; William Collins & co ltd Glasgow ; 1977.

[3] Istilah “sampah peradaban” saya pinjam dari E.S.Ito dalam novelnya Negara kelima ; serambi ; 2008.

[4] Prospek Pemuda dalam tahun 1980-an ; himpunan laporan kepada konperensi umum UNESCO pada sidangnya yang ke-21 ; balai pustaka ; 1982 . hal 20.

[5] Kalimat Pram ini saya pinjam dari sebuah essay tentang mahasiswa, ditulis oleh seorang sahabat, Roy Thaniago.

Jumat, 20 Juni 2008

Selamat jalan "pahlawan"

Prof. Deliar Noer telah meninggalkan kita Rabu 16 Juni 2008 kemarin.
Duka cita yang begitu mendalam patut kita sampaikan.

Indonesia kembali harus kehilangan seorang intelektual besar.
tulisan ini saya buat sebagai wujud rasa hormat dan kagum saya yang begitu besar kepada beliau.

Beliau adalah seorang intelektual yang hebat, Rektor Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta),1967-1974.

Meskipun tidak pernah sekalipun saya mendapat kesempatan menerima pelajaran dari beliau secara tatap muka di kelas, tetap saja pengaruh pemikiran dan karisma nya begitu merasuki pemikiran kami di jurusan sejarah FIB UI.

Pertama kali mendengar berita meninggalnya Prof. Deliar, saya langsung teringat akan bukunya yang begitu luar biasa, "Pemikiran Politik di Negeri Barat". Buku yang susah payah saya dapatkan dalam pencarian saya yang lumayan memakan waktu lama.
Prof. Deliar Noer, kelahiran Medan 9 Feb 1926 yang menamatkan pendidikan S2 dan S3 dari Cornel University, Ithaca, Amerika Serikat ini begitu terkenal di kalangan kami para mahasiswa sejarah UI melalui buku tersebut.

Diterbitkan pada Oktober 1982, ini adalah Sebuah buku yang luar biasa yang merupakan kelanjutan dari kitab "pengantar ke pemikiran politik, jili 1". Hal ini dijelaskan dalam kata pengantarnya, dan dari kata pengantar itu juga kita bisa melihat kepedulian beliau kepada pemikiran politik di Indonesia. Ia menuliskan "mudah-mudahan kitab ini banyak gunanya".

Dari begitu banyak tulisan nya, beliau sangat menginspirasikan saya terutama ketika saya membaca karya biografi politik nya,"Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa 1902-1980". Dari Karya ini saya untuk pertama kalinya menyadari bung Hatta adalah seorang intelektual elit Sumatera.

Prof. Deliar Noer, Doktor politik pertama di Indonesia. Kepakaran nya di bidang politik telah diakui di Indonesia. Semangat nya selalu menginspirasi mahasiswa dan saat ini kesedihan kita karena ditinggalkan oleh beliau sungguh menjadi kehilangan yang berat. Namun begitu, karya-karya nya yang hebat tidak akan habis dimakan usia. Buku-bukunya yang saya dapatkan akan selalu menjadi sumber pelajaran bagi saya dan saya yakin teman-teman di jurusan sejarah UI juga banyak belajar dari karya beliau.

Dari Perspektif keilmuan, saya pikir Prof. Deliar layak kita sematkan gelar "pahlawan". atas jasanya yang TIDAK secara politis memberikan pelajaran ilmu politik yang sangat berguna untuk kemajuan bangsa.

selamat jalan bung,
lilin yang kau nyalakan di kegelapan akan menerangi jalan generasi berikutnya.

Senin, 02 Juni 2008

Dari obrolan singkat dengan Addie MS

Orkestra, sebuah format musik simfonik yang berisi alat musik string, perkusi, brass dan alat tiup kayu. Banyak orang di Jakarta khususnya, memandang sebelah mata format musik orkestra. Boleh dibilang, orkestra kalah “ngetop” dibandingkan dengan format band terutama band ternama yang menawarkan musik easy listening. Terlebih lagi pada masa ini, band-band indie kian menjamur dan mulai menemukan “ruang” nya. Perkembangan orkestra pada masa kini telah jauh berkembang pesat. Hal ini didukung oleh begitu banyaknya sekolah musik yang beroperasi di Jakarta dan sekitarnya. Di Jogjakarta, sekolah menengah musik telah menghasilkan banyak musisi yang handal. Begitu juga dengan Institut Seni Indonesia yang juga bertempat di Jogja, menghasilkan lulusan seniman musik yang sangat handal yang boleh dibilang, menguasai dunia musik simfonik di Indonesia. Jika kita melihat ke belakang, sekitar awal tahun 1990-an, musik dengan format orkestra hampir tidak ada di Indonesia. Lalu muncul seorang musisi yang pada saat itu aktif dalam studio rekaman, yang banyak membantu proses recording para penyanyi besar saat ini. Dialah Addie MS. Bersama dengan Indra Usmansjah Bakrie dan Oddie Agam dia membentuk sebuah pops orchestra yang saat ini terdiri dari sekitar 70 musisi. Inilah orkestra terbesar di Indonesia yang memilih format pops orchestra.

Genre musik pop dipilih tentunya untuk memenuhi selera para penikmat musik di Indonesia yang tentu memilih pop daripada klasik. Apresiasi musik klasik di Indonesia memang sangat minim. Lain dengan di Negara-negara maju atau bahkan Negara tetangga Singapura. Apresiasi yang begitu minim dapat kita lihat dari bukti nyata bahwa tidak ada satupun gedung konder yang layak untuk instrument orkestra tanpa sound system di Indonesia. Balai Sarbini memang lumayan, tetapi tanpa sound system, musikalitasnya jauh dibawah standar. Usmar Ismail Hall di kuningan cukup memberikan kepuasan bagi pendengar, namun kapasitas penonton sangat minim. Ini hal yang menyedihkan ketika kita berkaca pada Singapura yang mempunyai Esplanade Hall dengan dua gedung konder besar dan satu yang kecil untuk pertunjukan sederhana. Pemerintah Indonesia memang kurang memperlihatkan apresiasi yang baik pada musik klasik, atau bahakn pada musik simfonik dalam orkestra. Ini lah yang menyebabkan perkembangan orkestra mandek di Indonesia. Angin segar datang ketika sekolah-sekolah musik di Jakarta dan sekitarnya mulai menghasilkan musisi-musisi muda yang aktif dalam konser-konser musik. Dengan sendirinya, musik orkestra menjadi mulai berangsur menjadi “terkenal”.

Dari obrolan singkat dengan Addie MS tentang orkestra, saya kembali teringat begitu banyaknya nilai positif yang kita terima dalam sebuah latihan orkestra, dalam hal ini youth orkestra, atau orkestra remaja.

Pertama, kita bisa belajar bersosialisasi dengan sesame musisi muda. Hal yang jarang ditemui ketika teman-teman seprofesi bercengkerama tentang hal yang menyenangkan yaitu musik. Kedua, kita bisa belajar bertanggung jawab. Stand partitur yang kita siapkan sendiri sebelum latihan, kita bereskan sendiri setelah latihan, dan menyiapkan partitur sendiri dari rumah, kita datang tepat waktu. Ketiga, kita belajar bekerja sama, tenggang rasa ketika musik yang dimainkan sukar, saling belajar, dan membantu sesame. Hal- hal seperti ini saya piker tidak bisa kita beli dengan uang. Betapa ini menjadi pelajaran hidup yang sangat unik yang sangat berguna ketika kita terjun ke masyarakat.

Kita tidak mungkin membeda-bedakan jenis musik bagus atau jelek, dan tidak mungkin dibuat perbedaan bahwa muik ini lebih baik, lebih enak atau musik itu musik rendahan dan sebagainya karena musik adalah soal selera. Namun satu hal yang tentu kita harus ingat adalah bahwa musik klasik dipilih dalam youth orchestra karena dalam proses belajar, kita tidak mungkin memilih jenis musik yang berasal dari tempat lain daripada alat musik yang dimainkan dalam orkestra. Umpamanya, kita tidak mungkin mencari pelajaran tentang gamelan di Jerman, Atau pelajaran tentang musik dangdut di Spanyol. Jadi sebagai generasi muda, sebaiknya kita tidak lagi memandang sebelah mata orkestra yang secara tersirat begitu banyak memberikan pelatihan kepribadian kepada musisinya. Meskipun kita nantinya tidak memutuskan menjadi musisi professional, namun nilai-nilai postitif itu pasti akan membantu kita dalam sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.

Kemang, Minggu 1 Juni 2008

sejarah DPR

Sejarah DPR
Oleh: Eryanto Nugroho dan Reny Rawasita Parasibu
Sekilas sejarah DPR-RI dapat dilihat dalam beberapa periode penting yaitu:
A. Volksraad (1918-1942)
B. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949)
C. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
D. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)
E. DPR Hasil Pemilu 1955 (20 Maret 1956-22 Juli 1959)
F. DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)
G. DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)
H. DPR-GR Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru
I. DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971
J. DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
K. DPR Hasil Pemilu 1999 (1999-2004)
L. DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)

Rabu, 21 Mei 2008

Selamat jalan bang Ali

ada yang harus dilunaskan
ketika kata hati memanggil

ada yang mesti ditunaikan
ketika ketidakadilan mengiris

hari ini
semua telah lunas
segala telah tunai

selamat jalan,
pejuang

Korantempo, 21 Mei 2008

Sabtu, 10 Mei 2008

Trend Batik : perspektif sejarah

Tyson
(Mahasiswa program studi sejarah UI dan aktivis sejarah sosial Indonesia )


Semasa menjadi presiden Indonesia Soekarno pernah berkata “ayo bangsa Indonesia, jangan berhenti! Revolusimu belum selesai, jangan berhenti!...[1]
Sekarang apakah revolusi sudah selesai? Apakah kita bertindak sebagai agen revolusi? Ataukah kita telah digilas dan dilupakan oleh revolusi? Karena setiap tindakan kita tidak lagi berdasarkan keinginan sendiri, kita terlalu banyak terpengaruh budaya yang “berbeda” dari budaya bangsa sendiri. Apakah ini revolusi yang belum selesai? Aplikasi pada masa sekarang lebih terlihat lagi ketika masyarakat di Jakarta mulai mengapresiasi batik sebagai busana.
Dalam mengambil sikap kita telah kehilangan arah. Di satu sisi kita senang dan bangga karena batik telah terlahir kembali dalam kehidupan sosial kita. Tetapi di sisi lain, jika kita melihat lebih dalam lagi, harus diakui bahwa apresiasi batik ini semata-mata hanyalah perkembangan mode terkini yang menyeret kita menjadi budak trend. Terbukti ketika kita melihat menjamurnya para pedagang batik dari dalam pasar swalayan yang paling mewah sekalipun ataupun di pinggir jalan dan stasiun kereta.
Batik memang harus diapresiasi sebab inilah jati diri bangsa kita. Tetapi pada prakteknya, kita harus malu karena baru sekarang kita bangga memakai busana bermotif batik. Padahal dalam perspektif sejarahnya, banyak dari kita yang sesungguhnya tidak mengetahui bahwa pembuatan batik berhubungan dengan aktifitas pembuatan kain tenun yang terikat dengan penanaman kapas, pembuatan dan pemintalannya. Juga bahan lain seperti penetasan ulat sutra, dan benang filamen dari kepompong. Kedua bahan ini (kapas dan sutra) pengadaanya terikat oleh musim. Lalu bahan baku utama adalah malam yang dicampur minyak kelapa dan cairan pewarna. Ditambah dengan air dari abu merang dan ekstrak air kapur.


Kebiasaan membuat ragam hias dengan motif ini sudah dikenal sejak masa pelukisan dinding gua. Pada masa itu ada seni melukis gua (sekitar masa berburu). Lukisan dinding ini banyak ditemui di Sulawesi selatan, Sulawesi tenggara, P. Muna, P. Seram, Irian, dan Kalimantan. Di daerah-daerah ini terdapat lukisan tangan yang merintangi pigmen merah. Lukisan ini menggambarkan tangan sebagai kekuatan pelindung dari roh jahat yang tergambar oleh warna merah. Jadi, teknik rintang pada tekstil pada dasarnya dipengaruhi oleh kepercayaan[2].
Ragam hias batik sendiri pada masa awalnya terbagi dalam dua kelompok. Pertama, batik kraton. Batik ini tumbuh diatas dasar-dasar filsafat, budaya Jawa dan mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta dan yang tertib, serasi, seimbang.Batik jenis ini banyak dipengaruhi tata karma Jawa. Batik kraton tampil dalam ikonografi yang cenderung bernuansa kontemplatif, tertib, simetris, dan bertata warna terbatas pada coklat soga dan biru nila. Kedua, adalah batik pesisir. Batik jenis ini terdapat di luar benteng kraton. Dibuat sebagai kerja sambilan, dan sebagai medium berungkap yang bebas, tidak terpaku pada nilai religio magis, coraknya spontan, kasar dan bebas.
Perdagangan yang menjadi kiblat batik pesisir juga menggoda para pedagang Cina dan wirausaha muslim. Mereka terjun ke usaha batik pada sekitar abad ke-18. Selain itu, antara tahun 1840-1940, pedagang Indo-Belanda juga mulai membuka kegiatan dalam perdagangan batik. Belum ada bukti yang jelas apakah Oey Tiong Ham yang oleh Onghokham disebut sebagai “the first modern business conglomerate in southeast Asia” juga terlibat dalam perdagangan batik[3].
Jati diri yang semakin terkikis. Terlihat dari dengan mudahnya pengaruh asing yang masuk ke dalam kehidupan bangsa. Merasuk sampai ke sumsum tulang kita dan menjadi pengendali kehidupan kita. Harus disadari juga bahwa secara tidak sadar, kita telah menjadi budak kolonialisme dan imperialisme. Suatu hal yang sangat dilarang oleh Soekarno ketika menjalankan politik anti-Nekolim.


Generasi muda kita menjadi ladang subur bagi praktek kolonialisme dan imperialisme. Hanya saja, bentuknya kini berbeda. Jika dulu pemerintah Hindia Belanda melakukan nya secara fisik, kini para kaum kapitalis melakukan nya secara psikis. Apa yang menjadi sarananya tidak lain adalah faktor ekonomi dan politik uang. Seperti kehilangan nilai intelektualitasnya, banyak anak muda yang lebih mengangungkan produk-produk dari luar sedangkan melupakan batik yang menjadi jati diri bangsa. Masalah selera memang sangat bebas dan tidak boleh diatur oleh siapapun tapi pertanyaan nya adalah mengapa selera mereka sangat terpengaruh oleh trend yang ditawarkan oleh para kapitalistik? Dan ketika batik mulai “nge-trend” lalu semua berganti selera menjadi “batik-sentris“ Apakah ini selera pribadi mereka ataukah hanya ikut-ikutan dan melupakan sisi intelektualnya?
Ironis dan menyedihkan bangsa kita memiliki penerus yang tidak lagi menjaga warisan budaya bangsa tetapi sekedar menjadi budak trend dengan menelan mentah-mentah apa yang diberikan oleh orang asing. Seperti calon nahkoda yang kehilangan arah, Kapal besar Indonesia tidak jelas berlayar kemana. Padahal kalau kita mau, yang seharusnya terjadi sebetulnya adalah kita mampu memasarkan batik ke luar negeri sampai batik menjadi trend di luar Indonesia. Itu berarti eksistensi budaya kita bisa mendobrak sistem yang berlaku dan kita menjadi agen perubahan (agent of change) dalam revolusi yang digalakkan Soekarno[4].
Dengan memperhatikan perspektif sejarah masa lalu dan dengan melihat situasi di masa kini, saya menyarankan pada kita semua untuk berubah dan berani mengambil sikap untuk mengapresiasi batik dengan “baik dan benar” menurut tatanan budaya bangsa Indonesia. Karena hal ini begitu penting untuk perkembangan anak dan cucu kita di masa depan. Dan jika kita tidak mampu berubah, jika kita tidak bisa merdeka dan lepas dari belenggu perbudakan Neo Kolonialisme dan Imperialisme, kita sebaiknya dengan rendah hati dan rasa malu yang begitu berat harus berterimakasih kepada Malaysia yang secara tidak langsung menjadi pemicu trend Batik di Indonesia.***

8 & 10 Mei 2008
Pk 10.29 & Pk 15.42


[1] Pidato Soekarno panca program front nasional ; Arsip Nasional RI
[2] “Indonesia indah” jilid 8 ; Yayasan harapan kita / BP3 TMII
[3] Onghokham : “The thugs, the curtain thief, and the sugar lord ; power, politics, and culture in colonial Java” ; Metafor publishing . 2003
[4] Tentang agent of change banyak dibahas dalam diskusi mengenai pendekatan strukturis dan structural dalam penulisan sejarah

Senin, 28 April 2008

Pujaan hati

seorang manusia pernah berkata kepada Tuhan,
"ya Tuhan, apakah cinta selalu memberikan kasih?"

ia berkata lagi,

"Tuhan, apakah aku salah mencintai dia yang bukan untuk ku?"

"Ataukah aku telah berdosa karena telah mengingini dia yang bukan terlahir untukku?"

"ataukah Kau sengaja menciptakan dia di sisiku untuk membuatku menangis dan meniduriku dalam mimpi yang terindah? sampai aku tersadar dan terjaga ketika dia meninggalkan aku?"

Tuhan hanya diam saja..

Dan akhirnya dia tersadar bahwa dirinya tidak pantas untuk dicintai,

untuk kesekian kalinya ia kehilangan cinta yang belum ia dapatkan..
Hampir ia dapatkan,
tidak ia dapatkan,

ia pergi dan marah pada dirinya sendiri..

suatu renungan jiwa yang lemah
28 April 2008
Pk 18.13

Minggu, 27 April 2008

Tempe, a culinary contribution from Java

When we speak of tempe, we generally associate this food with the Javanese. For among the people of the Indonesian archipelago, tempe is exclusively found in the Javanese kitchen. Balinese, Menadonese, or Padang cookery, to mention just a few of our best cuisine, do not know tempe. When tempe is found on the other island, it is only produced in areas with Javanese migrants. In Javanese society, from upper and middle classes and down to the more humble lower classes, fried tempe or other forms of it, is a must with every rice meal, and is usually one of the most favourite dishes. Another aspect of tempe is that it is “democratis” and forms a bridge of sorts, between the rich and the poor. Tempe at the rich man’s dining table is of the same quality as the one eaten by the poor...

sedikit dari Onghokham..

Selasa, 22 April 2008

Renungan tentang rasa “kasihan”

Kasihan dia,
Beragama dengan baik
Tapi kehilangan iman nya..

Kasihan dia,
Bersikap bahagia
Tapi kepedihan memenuhi relung jiwanya

Kasihan dia,
Dikelilingi wanita
Tapi tak ada yg ia cintai dgn hatinya..

Kasihan dia,
Apa kalian pikir hidupnya bahagia??

Siapa dia??
Dia siapa?

Aku?

Jumat, 28 Maret 2008

sebuah renungan tentang mama

Mama
setiap malam aku bertemu dengan mama
setiap pagi aku pamit pergi pada mama
tapi kenapa aku jarang memeluk mama?

aku tahu mama sayang padaku
mencintaiku, dengan sepenuh jiwanya
tapi kenapa aku jarang mencium mama?

sering aku merasa rindu pada mama
setiap hari aku merasa ingin menggandengnya
menggenggam tangannya
aku ingin cium mama
memijat kakinya
dan berusaha terus berada di sisinya
berusaha membisikkan sebuah frasa

sebuah frasa, aku mencintaimu mama
sekarang dan sepanjang hidupku

Jumat, 28 Maret 2008
Pk 00.13

untuk dia yang tak pernah tau..

ingin sekali kuungkapkan
semua yang menjadi bebanku
semua yang menjadi masalahku

aku tidak pernah menyangka
akan jatuh ke lubang ini
dan tak sanggup lagi kuberdiri

sia-sia harapan
tanpa sadar ku slalu jatuh lagi
tapi aku ingin dia tau
tanpa harus kukatakan

apakah ia tak mau menolongku?
ia tak mampu membuat aku berdiri?
ataukah ia sengaja menutup mata?

sungguh berat beban ini
ketika aku harus berbuat
sesuatu yang aku tak mampu
mengumpulkan keberanianku, kejantananku
dan berkata
perempuan, aku mencintaimu
walau kutahu kita tak mungkin bersatu.

senin, 24 Maret 2008
Pk 23.32

Selasa, 25 Maret 2008

Degradasi Fungsi Media massa (Analisis kritis tentang politik, budaya, sosial dan media)

Pada masa orde baru, kita mengenal tiga misi media massa bagi masyarakat yaitu edukasi, penerangan dan hiburan. Misi itu dirasakan manfaatnya terhadap masyarakat ketika program-program yang dijalankan oleh media massa tersebut menjadi semacam sarana bagi kesejahteraan masyarakat seperti program pemberantasan buta huruf, penyaluran informasi ke daerah, sosialisasi program listrik masuk desa dan berbagai kegiatan lain. Manusia cenderung menangkap pesan atau memahami makna dari sesuatu hal yang disampaikan melalui audio visual lebih baik daripada sekedar melalui sarana tulisan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor meledaknya popularitas media televisi (layar kaca) mengalahkan media cetak seperti surat kabar dalam persaingan menyebarkan informasi. Hal yang serupa juga terjadi di Amerika, ketika televisi dalam perkembangan nya menjadi sarana yang lebih efektif daripada surat kabar. Padahal “New England Courant”, Koran bawah tanah pertama di Amerika, sudah terbit sejak tahun 1722.

Di Indonesia, Negara dunia ketiga yang tingkat buta hurufnya masih tinggi, media televisi memegang peran besar dalam penyebaran informasi. Televisi menjadi semacam kebutuhan karena sosialisasi budaya baca kurang berkembang di Indonesia. Masalah yang datang adalah ketika sarana yang begitu efektif tersebut justru menyebarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya bangsa. Begitu banyak program yang dibuat tanpa memikirkan tanggung jawab moral terhadap para penonton muda. Kita semua tahu generasi muda bangsa ini semakin kehilangan jati diri dan rasa cinta tanah airnya. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh program televisi yang menyebarkan “budaya instant”. Beberapa program menggambarkan budaya korupsi, budaya materialisme, bahkan banyak program gosip yang sedemikian merasuki pikiran penonton sehingga di dalam pergaulan dan sosialisai mereka justru membicarakan hal-hal yang mencampuri urusan pribadi orang lain.



Berbagai sinetron yang semakin marak disiarkan di layar kaca setiap hari adalah salah satu contoh betapa misi edukasi yang begitu baik dijalankan pada masa orde baru justru semakin terpinggirkan. Departemen penerangan pada masa orde baru memang terbukti mengekang kebebasan pers dalam media massa cetak maupun elektronik, namun dalam kesehariaan, masyarakat semakin terdidik dengan program acara yang informatif dan mendidik. Yang terjadi sekarang, masyarakat yang masih ”waras” sewajarnya merasa tersiksa dengan serbuan berbagai sinetron yang semakin melampaui batas “wajar”. Bayangkan saja, betapa muaknya kita sebagai penonton televisi yang setiap hari dijejali dengan sinetron yang tidak berkualitas dan isinya hanya “manajemen konflik” antar tokoh, dan lebih banyak mengumbar hedonisme, bahkan mendoktrin kita untuk menerima dengan gamblang pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

Lebih ironis lagi ketika sinetron-sinetron seperti itu justru ditayangkan secara berurutan oleh salah satu stasiun televisi swasta mulai sekitar pk 16.00 sampai dengan pk 22.30 setiap hari. Bagi masyarakat yang “waras”, hal seperti ini bagaikan siksaan tanpa ampun atas nilai-nilai moral yang seharusnya tertanam dengan baik dalam diri setiap individu. Doktrin sinetron yang tanpa ampun pasti juga menyerang anak-anak kita yang masih dibawah umur karena jam tayangnya yang merupakan prime time sehingga jutaan anak di seluruh Indonesia, secara bersamaan disiksa moral dan mentalnya dengan pengaruh-pengaruh atau doktrin yang disebarkan sinetron yang hanya mementingkan rating. Padahal, rating itu hanya mementingkan profit tanpa memikirkan tanggung jawab moral kepada penonton di bawah usia.

Pemerintah tentu bisa mengubah keadaan dengan melakukan pembatasan atau dengan menghadirkan satu jenis sinetron yang edukatif, informatif dan menghibur. Namun tampaknya, badut-badut di senayan justru lebih senang meributkan RUU Pemilu, pemberantasan korupsi yang terus menemui jalan buntu, atau bahkan perebutan kursi menjelang tahun 2009. Terus terang, sangat dimaklumi jika kita merindukan sinetron yang baik seperti Keluarga cemara. Yang mengajarkan kepada kita kesahajaan, kesabaran, dan kebersamaan dalam keluarga.

Semoga generasi muda bangsa ini semakin menyadari pentingnya media massa, audio visual khususnya dan tidak menyerah terhadap siksaan doktrin sinetron-sinetron murahan yang menyerang kita semua setiap hari di prime time.

-Tyson-
3 Maret2008
Pk 23.17

puisi cinta kepada kasih tak sampai..

Aku kagum padanya
Setiap kali aku menemuinya,
Aku merasa memandang surga.
Tak pernah kutemukan yang seperti dia.
Karya Tuhan yang paling sempurna.
Dibawah telapak kakinya aku rela berbaring.

Aku hanya ingin kau sayangku,
Duduk disampingku,
Sambil berbicara tentang tugas kita,
Masalah kita,

Aku hanya ingin kau gadisku,
Bulan di malamku,
Mentari di pagiku.
Aku tak pernah merasa ada yang cela.

Meskipun aku tak pernah berkata mesra,
Tak pernah merayu menggoda,
Tapi aku tak pernah rela.

Aku hanya ingin kau hatiku
Menemanimu ke ujung dunia,
Melewati batas nalar menuju dunia yg paradoks.
Karena,

Perempuan ini lain Tuhan,
Apa yang Kau lakukan padanya?
Aku tahu aku tidak pantas untuknya,
Tapi aku belajar,

Tapi aku memutuskan untuk menjaga hati.
Sejak pertama berjumpa dengan nya, berkenalan dengan nya,
Aku sudah tahu Tuhan..

Aku selalu kagum padanya
Aku tidak pantas menerima semuanya,
Aku tidak akan pernah bertemu dengan nya lagi.
Aku hanya mau hidup sendiri..
Maafkan aku perempuan,
Maafkan aku Tuhan..

15 Maret 2008
Pk. 22.55

Dari Kaum Muda untuk Indonesia (Tulisan ini dibuat tahun 2007)

Kelangkaan figur seorang negarawan sejati di Indonesia amat kita sesali mengingat betapa pentingnya kepemimpinan yang baik dalam menghadapi tantangan global di masa yang akan datang. Jika masalah tersebut tidak juga bisa diatasi, bukan tidak mungkin di masa yang akan datang negara kita akan semakin terseok-seok dan terus bergantung kepada negara lain. Akibat kepemimpinan yang kurang baik itu contoh nyatanya adalah masalah korupsi yang belum juga dapat diatasi bahkan mungkin justru korupsi mendarah daging di dalam sikap para pemimpin kita.

Memang benar bahwa siapapun yang mengelola Negara ini nyaris mustahil dapat sepenuhnya mengatasi masalah tersebut, namun setidaknya masyarakat masih berharap adanya tanda-tanda dan harapan akan adanya perubahan ke arah yang lebih baik, ke arah perbaikan hidup dan kesejahteraan.

Ironis memang pemerintahan sekarang tidak henti –hentinya disibukkan dengan penanganan bencana alam, konflik-konflik sosial, bahkan kasus Lumpur Lapindo yang tampaknya belum juga terpecahakan (meskipun ada indikasi bahwa kasus ini berusaha ditutupi). Hal seperti ini semakin merusak konsentrasi pembangunan bangsa. Bahkan yang lebih menyedihkan, semakin hari, di era reformasi ini justru rakyat menjadi semakin menderita dan semakin tenggelam dalam jurang kemiskinan.

Pembangunan karakter dan moral menjadi hal yang sangat penting karena untuk mencetak seorang calon pemimpin yang baik tidak hanya membutuhkan nilai-nilai yang baik di sekolah atau kampus melainkan juga perlu adanya karakter yang baik dalam diri manusianya. Ini adalah suatu upaya membentuk sumber daya manusia yang baik. Perlu kita sadari, para pejabat yang korup tentu bukan orang yang bodoh melainkan orang yang tidak menggunakan hatinya.



Masalah birokrasi tampaknya juga merupakan suatu masalah yang disebabkan oleh kepemimpinan yang kurang baik. Pada saat kita terlena berpuas diri, negara-negara lain justru berlomba untuk menjadi Negara tujuan investasi nomor wahid. Mereka terus berbenah dan bersolek untuk memperebutkan pengaruhnya. Untuk merebut investasi itu mereka bahkan menghalalkan segala cara. Sedangkan dari tahun ke tahun dan dari rezim pemerintahan yang satu ke rezim yang lain, kita terus terjebak dalam persoalan klasik problem investasi yang sama. Birokrasi berbelit-belit semakin menmbah panjang keluhan para investor.

Saat ini generasi muda Indonesia memiliki prestasi yang baik di kompetisi internasional dalam bidang-bidang seperti fisika, biologi, matematika dan ilmu-ilmu lain. Hal itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai generasi yang unggul, yang bisa diandalkan dalam membangun bangsa. Yang perlu kita lakukan bersama adalah menumbuhkan rasa cinta tanah air dan nasionalisme yang tinggi sehingga keunggulan tersebut bisa dimanfaatkan dengan maksimal untuk membangun negaranya. Mungkin sudah saatnya kaum muda Indonesia diberi kesempatan untuk ikut ambil bagian lebih besar dalam kehidupan kebangsaan Indonesia sehingga pemerintahan bergairah dan siap menyongsong Indonesia baru yang lebih baik.

Jiwa generasi muda dalam konsep jiwa jaman -sebuah pertanyaan (Tulisan ini ditulis di awal bulan Maret)

28 Oktober 1928 adalah masa ketikaorang muda bangsa ini tersadar, bahwasebagai manusia normal, kita tidakmungkin lepas dari tanggung jawabkepada negara.28 Oktober 1928 adalah masa ketikaorang muda bangsa ini tersadar, bahwaIndonesia yang tercinta tidak mungkinsejahtera jika kita tidak bergerak.28 Oktober 1928 adalah masa ketikaorang muda bangsa ini tersadar, bahwahanya dengan semangat penuh cintatanah air dan niat bekerja kerasmembangun bangsa sajalah Indonesiatercinta bisa mengarungi samudera luasdunia.28 Oktober 1928, Adalah masa ketikajiwa jaman yang begitu meledakmenghasilkan generasi muda unggul yangsiap merebut kemerdekaan. Adalah masadimana kita harus bangga dengan sumpahkita sebagai pemuda.tapi apa yang terjadi pada 80 tahunsetelah itu?tapi apa yang terjadi pada masa ketikaegoisme mengambil peran besar?tapi apa yang terjadi ketikakonsumerisme, materialisme, danglobalisasi begitu sukses merenggut,MEROBEK-ROBEK dan menghancur leburkansemangat yang susah payah dibangunoleh bapa bapa bangsa kita???Dosa apa negara ini?dengan mudahnya, brand brand, merk,dan gaya hidup yang menawarkan budayaINSTAN dengan jembatan jembatanKEMALASAN kepada kita justru diterimadengan mentah oleh golongan mudabangsa ini??Negara Singapura harusnyaberterimakasih kepada kita, karenastabilitas Singapura dijaga selamabertahun tahun oleh mantan presidenkita. tapi kenapa orang orang terkaya,koruptor negara,. dan para penjahatyang kaya raya justru mengalirkanrupiah kita kesana? mengajarkananaknya budaya kemalasan denganliburan kesana? mendewa dewakannegera itu?siapa yang salah?golongan tua yang lalai?golongan muda yang penuh jiwapembangkang?golongan pemerintah yang tidak mampumelakukan proteksi?INI SAATNYA MENGAMBIL SIKAP.INI SAATNYA BERJUANG MELAWAN PENJAJAH.Kita harus berani berkaca,apakah kita mengalami ketergantunganpada merk? pada gaya hidup? padamateri materi? pada sinetron kacangan?pada FESTIVAL YANG MENGACUHKAN HARIRAYA NYEPI?? (7 Maret)? Pada mall?Apakah kita hidup dalam jiwa jamanyang serba enak? apakah fasilitas yangkita terima sudah jauh membuat kitaterperosok dalam kemalasan? kemanjaan?atau keterpurukan?Kita harus berkaca,berkaca..,berkaca..,dan berkaca sekali lagi.

Humaniora (Harusnya sudah dipublikasikan Januari lalu..)

baru baru ini tanah air gempar denganmeninggalnya Soeharto. yang gempar itukalangan politisi, sejarawan, elit2dan masyarakat Jakarta aja kan? yasedikit warga Solo juga lah..oiya, parpol parpol dan angkatan 98juga tuh. Entah apa yg diributin. Kansebaiknya yg bersangkutan dimaafkantapi proses hukum laaanjut terus donk?negara ini sakit parah.kita sih turut berduka aja sama pasangbendera setengah tiang.2 minggu yg lalu kamtib di jalan AgusSalim menteng lagi galak. pedagang dipinggir jalan digusur. gerobaknyadiambilin. Wajah-wajah preman tapipake seragam. mereka terpenjara denganwibawa seragam dan jerat "perut butuhmakan" sampe lupain kepentingan orangkecil. Kepala sekolah di situ juga gamau bantuin orang pedagang dikit juga.padahal uda jualan di situ dr taun 74.negara ini sudah sakit parah..3 hari yg lalu seorang teman datangdari australia. dia inget gw, yah gwtemuin lah dia di mall deket rumah.Disana banyak bgt pengunjung yangbahkan masi berseragam sekolah lengkap.gila2an kan.. mereka tuh kayatergantung bgt sama gedung mall itu.parahnya lg, pemandangan kaya gini nihtiap hari kita liat di situ. negaraini sedang sakit parah.belum lg pelajar yg nongkrong2 diwarung deket rumah gw. sambil kebut2annaik motor berlomba mencari perhatiangadis2 teman sekolah mereka dan takketinggalan asap rokok mengepul disela2 celana abu-abu mereka. Ini kancermin dari negara yg sakit..Taman jogging di kelapa gading,dibangun sebagai kamuflase daribobroknya sistem penanganan banjir.Apa gunanya tempat jogging kalo musimhujan tergenang? harusnya dibangunapartemen aja sampe ga ada sisa tanahkosong lg. kan negara ini mau dibuattambah sakit..kemarin, di pasar mandiri, pasartradisional, harga ikan gurame hidupyg 1 kg itu 25 ribu. katanya sih lagimahal. ya tapi gw beli juga. dimasakenak sih. pasar tradisional kaya gituitu wajah dari negara ini yang makmurdan sejahtera. ikan, daging, sayuran,semua lengkap. kita ga perlu caribahan masakan yg mahal dan dibungkuskaya di mall gitu. cukup beradu pagiaja buat dapetin bahan terbaik untukmasak. ini kan aktivitas kita ygalamiah. bukan bergaya dan mondarmandir di dalam gedung ber ac ygisinya justru anak pelajar yg sudahteracuni dengan konsumerisme danhedonisme. lambang negara yg sakitparah..konsumerisme, hedonisme, dan kecintaanakan pride, merk, lambang dan hargaadalah monumen monumen yg paling agungdalam benak masyarakat pesakitan ygtidak bisa kerja. mungkin negara initerlalu kaya sampe penduduknya terlalumalas untuk bergerak. Cuma terima jadimenikmati terbang ke Singapura,Malaysia. Padahal turisme lagidigalakkan. kita kalah dari Singapurayg rata rata 15 juta pengunjungnya pertahun. pemerintah kita hanyamenargetkan 7 juta untuk visitIndonesia 2008. ya kan? gimana maumenang kalo monumen monumen dalambenak kita masih kaya gitu tadi??negara ini lg sakit.meski begitu, acungan jempol harusdiberikan pada CHRISJON. dia menangmudah dan bikin lawan nya menyerah.Ini orang Indonesia yg hebat. Kemauandan kerja kerasnya oke bgt. Salut..ini sedikit meringankan rasa sakitnegara..kata bunda Dorce, kesempurnaan hanyamilik Tuhan, kita manusia cuma punyakekurangan. yah gw juga punyakekurangan kan, kritik dan saran terusgw tampung untuk sesegera mungkinmemperbaiki diri.