Rabu, 22 Oktober 2008

Menanti Sang Bidadari

Burung-burung itu masih lantang bernyanyi
Memecah kejamnya kesunyian pagi hari

Patung-patung dan gua belum terlihat jelas
Karena matahari belum berubah terik mengganas

Obrolan manusia beradu keras dengan dengung mesin AC
Membuat kesejukan pagi terasa cepat pergi menjauh

Tong-tong sampah masih berwarna kuning
Dan manusia tetap tidak tega membuang ke dalamnya

Lantai-lantai licin yang baru dicuci
Dirusak lagi oleh sepatu wanita yang tidak berhati

Kesendirian ditemani oleh sebatang rokok,
Berisiknya gantungan kunci dan manusia-manusia berdosa
Yang merusak suasana Depok yang asli

Aku berteriak mencari
Bidadari dari Nagasaki

6 Oktober 2008
Selasar Gd VI FIB UI, Depok
Sekitar Pk 07.05

Jumat, 10 Oktober 2008

Untitled

Hatiku tercecer dalam perjalanan rutin
Antara Depok-Jakarta

Ada ibu-ibu menagih setoran iba
Di lantai stasiun kereta
Diiringi anak-anak berlari kesana kemari
Mencari serpihan harta

Aku melangkah lunglai
Melalui pemulung yang mengais rezeki
Di tong tong sampah

Kutunggu kereta dating
Membawa gelandangan yang menyapu lantainya
Di kecepatan 100 km/jam
Dan kudapati pengemis memohon uang seribuan
sambil menangis

Aku turun dan kujumpai
Pria paruh baya menawarkan jasa
Angkutan roda dua
Separuh nyawa menjadi konsekuensinya

Aku menangis
Ketika di jalan lain kudapati
Gadis itu telah berubah dan
Pindah ke lain hati

Aku hanya bisa berpikir,
Berpikir lagi, lalu kutuliskan,
Menulis lagi, lagi, dan hanya
Menulis lagi

Karena aku menulis agar mereka tau
Aku berteriak di dalam hati.

Jumat 10 Oktober 08
Dalam perjalanan Depok-Jakarta
Sekitar Pk 18.30

Kamis, 09 Oktober 2008

Separatisme Berkedok Budaya di Indonesia

Separatisme pada umumnya diartikan oleh masyarakat kita sebagai bentuk paham yang memecah belah atau memisahkan kelompok tertentu dari kesatuannya. Namun demikian, yang terjadi tampaknya separatisme terwujud tanpa disadari oleh masyarakat. Seringkali berbagai hal yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dalam arti luas terjadi atas alasan tertentu, misalnya konflik etnis, sosial, politik, agama dan tentu saja semua itu terkait dengan budaya bangsa ini. Lalu timbul pertanyaan dalam pikiran saya, apakah benar separatisme telah menjadi budaya bangsa kita?

Separatisme sudah tentu menjadi momok bagi perjalanan bangsa kita dalam menghadapi tantangan globalisasi. Sulit dibayangkan ketika begitu hebatnya “serbuan” intervensi asing masuk ke Indonesia, kita justru sedang sibuk mengatasi masalah dan konflik-konflik intern yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Kita harus mulai mencari penyelesaian yang efektif sehingga tidak perlu berlarut-larut “melawan” rakyat sendiri yang seharusnya bekerjasama menghadapi masa depan. Sangat disesali, selama ini bangsa kita tampaknya tidak dibekali dengan moral dan karakter yang baik. Dalam hal ini, banyak sekali contoh yang bisa kita lihat dan buktikan sendiri.

Dewasa ini kita dipaksa untuk semakin menyadari bahwa selain bangsa ini terpuruk dalam bidang ekonomi, sosial, dan bahkan teknologi, kita juga telah gagal dalam hal pembangunan moral dan karakter manusia Indonesia. Saya pikir ini menjadi salah satu akar dari masalah separatisme yang berkedok budaya di Indonesia. Ditambah lagi kelangkaan figur seorang negarawan sejati di Indonesia amat kita sesali mengingat betapa pentingnya kepemimpinan yang baik dalam menghadapi tantangan global di masa yang akan datang. Dalam arti sempit, kita kesulitan mencari orang yang sungguh-sungguh kompeten dalam menjalankan pemerintahan.

Ironis memang, bahwa pemerintah kita sekarang justru sibuk dengan penanganan bencana alam, kasus Lapindo yang sudah semakin berlarut-larut, pemilihan calon presiden tahun 2009 dan beragam hal lainnya yang memecahkan konsentrasi pembangunan bangsa. Menjadi sangat menyedihkan karena hal ini membawa masyarakat ke jurang kemiskinan yang lebih dalam dan membuat rakyat kecil semakin terperosok. Tidak mengherankan jika kasus-kasus separatisme sangat mudah terjadi di Negara yang sedang dalam kondisi seperti ini.

Sementara itu, tampaknya kita masih sangat sulit menghapus “mental jajahan” yang masih ada dalam diri kita. Kita masih bertindak layaknya seperti manusia-manusia yang dijajah oleh bangsa lain. Kita masih selalu menurut pada penguasa, kita masih terlalu mudah setuju dengan kebijakan pemilik modal yang mementingkan dirinya sendiri dan selalu hormat pada orang-orang yang kuat secara materi. Harus diakui, banyak dari kita orang muda negeri ini yang memandang materi sebagai pusat penghormatan. Kita dijajah oleh pemodal asing. “Mental jajahan” ini memang sulit sekali diperbaiki karena bangsa ini terlalu lama dijajah oleh bangsa asing. Mental seperti ini tentu sangat mempengaruhi perilaku kita. Kita dengan mudah terpengaruh oleh godaan-godaan semu yang menggiurkan yang kita dapatkan dari tindakan separatis. Inilah bahayanya, penjajahan di Indonesia sekarang serupa tapi tak sama dengan masa kolonial.

Menengok sejarah Indonesia, separatisme selalu identik dengan kekerasan dan konflik sosial. Pada umumnya, konflik-konflik antar agama misalnya ataupun yang mengatas namakan agama di Indonesia selalu berujung pada keinginan merdeka atau melepaskan diri dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Belanda memanfaatkan situasi bangsa kita. Banyak sekali bukti dalam sejarah yang menyatakan bahwa perselisihan antar kerajaan di nusantara justru diakhiri dengan Belanda sebagai ”pemenang”. Dalam perselisihan agama, GusDur, mantan presiden ke-4 Indonesia berpendapat bahwa masalah pokok dalam hubungan antar umat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain,bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain. Ternyata kemudian, saya masih belum mendapatkan jawaban, apakah separatisme telah menjadi budaya di bangsa kita?

Jamban : Satu elemen mempersatukan dunia

Jamban, toilet, kloset, WC (watercloset) adalah beberapa istilah yang mengacu pada alat pembuangan, atau ruangan tempat diposisikannya alat pembuangan yang fungsi utamanya untuk membuang kotoran manusia, air seni dan feses. Mendengar istilah “Kloset”, saya terbayangkan dua jenis kloset. Yang pertama adalah kloset duduk dan yang kedua adalah kloset jongkok. Kloset duduk mempunyai fasilitas penyiraman setelah digunakan dan ternyata pada hari ini, kloset duduk adalah yang paling umum di Eropa. Sedangkan kloset jongkok popular di Asia tenggara, RRC, Jepang, India, serta beberapa Negara Eropa selatan dan Negara-negara Balkan.
Secara sosial, kita juga bisa melihat adanya pengklasifikasian antara dua jenis toilet yaitu toilet umum dan toilet rumahan. Dalam suatu kamus bahasa Indonesia, saya menemukan definisi “toilet” adalah alat-alat berhias. Dalam kamus bahasa Inggris, “toilet-set” diartikan sebagai alat-alat lengkap untuk berdandan termasuktempat sisir dan tempat handuk. Saya membaca sebuah pengkerdilan makna dalam istilah “toilet” dalam bahasa percakapan kita. Namun begitu, kita boleh-boleh saja terus memaknai toilet dengan arti yang sudah umum berlaku di masyarakat.
Jika kita melakukan sebuah perjalanan ke beberapa toilet umum, bisa ditemukan jejak-jejak sentuhan tangan Belanda dalam pembangunan di Batavia. Di beberapa stasiun di Jakarta misalnya, dalam ruangan yang bertuliskan “toilet” kita akan mendapati posisi kloset yang khusus untuk buang air seni (urinoir) letaknya tidak sesuai dengan karakter umum fisik orang Indonesia melainkan terlalu menyesuaikan dengan karakter Eropa yang umumnya lebih tinggi. Ini hanya contoh sederhana, meskipun tentu saja dalam arus sejarah, kloset terus mengalami perkembangan.
Parit-parit di Mohenjodaro dan kloset peradaban Romawi kuno dianggap sebagai model kloset pertama di dunia. Ada suatu sumber yang menceritakan suatu kejadian di London sekitar tahun 1730, karena padatnya jumlah penduduk ketika itu, warga harus mulai tinggal di rumah-rumah susun kecil. Ketika mereka buang air, mereka melakukan nya di suatu tempat yang mungkin pada masa sekarang kita kenal dengan istilah “pispot”. Dari pispot itu, kotoran dikumpulkan dan dibuang ke selokan. Namun begitu, mereka sering kerepotan bolak-balik naik turun sehingga kotoran itu dibuang begitu saja dari jendela. Efek jangka pendeknya tentu saja kenyamanan yang terganggu. Lalu bisa ditebak, lingkungan menjadi kotor dan penyakit merajalela. Sampai pada tahun 1731 ketika pemerintah London mengeluarkan undang-undang pelarangan membuang kotoran ke jalan, dan barangsiapa melakukan nya, akan dikenai hukuman denda. Ternyata undang-undang itu tidak mampu mengubah kebiasaan mereka. Inovasi terus dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Sejarah mencatat suatu fenomena besar yang cukup sukses adalah inovasi yang dilakukan oleh Alexander Cummings pada 1775 yang menemukan kloset bilas tak berbau yang disebut Valve Closet. Rahasianya adalah dengan menggunakan saluran pembuangan leher angsa atau mirip huruf S. Bentuk ini membuat air menggenang di leher angsa tersebut,dan menghalangi keluarnya bau kotoran.
Dalam kehidupan di lingkungan kumuh di pinggiran Jakarta sekarang, hal yang serupa tapi tak sama terjadi seperti di London tahun 1730an itu. Lingkungan semakin kotor dan penyakit siap menyerang. Celakanya pemerintah bagaikan kehabisan akal dan menyerah apalagi dengan bertambahnya jumlah penduduk terkait dengan urbanisasi tahunan. Kalaupun ada jamban (istilah “jamban” saya gunakan karena ini popular di lingkungan masyarakat kumuh), jamban itu adalah jamban umum yang digunakan oleh sekian banyak orang di lingkungan yang sama. Bagaikan satu dosen yang melayani nafsu intelektual ribuan mahasiswa dalam perkuliahan. Tentu saja hal seperti itu tidak efektif, tidak dapat melayani dengan maksimal.
Kloset, adalah elemen penting yang menyangkut hidup setiap manusia di dunia. Kalau kita baca di tembok dalam salah satu toilet jongkok pria di gedung IX FIB UI Depok, entah siapa penulisnya tapi saya pikir logikanya benar, bahwa setiap manusia meskipun ia tercantik dan tertampan di dunia ini tidak akan pernah dapat menghindari perasaan mulas, atau setidaknya ingin buang air besar maupun kecil. Inilah yang membuat kloset mampu menyatukan dunia. Lalu apabila elemen sederhana seperti toilet ternyata dapat bermanfaat dan menolong kita di saat sakit perut, mengapa perpustakaan FIB yang luar biasa itu tidak kita manfaatkan sebagai tempat yang menolong kita dari kebutaan ilmu dan intelektualitas? Sehingga kita tidak hanya membuat kebisingan dengan mengobrol, pacaran, bercanda atau telponan namun mencoba duduk tenang seperti di kloset duduk, sambil membaca buku.