Jumat, 20 Juni 2008

Selamat jalan "pahlawan"

Prof. Deliar Noer telah meninggalkan kita Rabu 16 Juni 2008 kemarin.
Duka cita yang begitu mendalam patut kita sampaikan.

Indonesia kembali harus kehilangan seorang intelektual besar.
tulisan ini saya buat sebagai wujud rasa hormat dan kagum saya yang begitu besar kepada beliau.

Beliau adalah seorang intelektual yang hebat, Rektor Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta),1967-1974.

Meskipun tidak pernah sekalipun saya mendapat kesempatan menerima pelajaran dari beliau secara tatap muka di kelas, tetap saja pengaruh pemikiran dan karisma nya begitu merasuki pemikiran kami di jurusan sejarah FIB UI.

Pertama kali mendengar berita meninggalnya Prof. Deliar, saya langsung teringat akan bukunya yang begitu luar biasa, "Pemikiran Politik di Negeri Barat". Buku yang susah payah saya dapatkan dalam pencarian saya yang lumayan memakan waktu lama.
Prof. Deliar Noer, kelahiran Medan 9 Feb 1926 yang menamatkan pendidikan S2 dan S3 dari Cornel University, Ithaca, Amerika Serikat ini begitu terkenal di kalangan kami para mahasiswa sejarah UI melalui buku tersebut.

Diterbitkan pada Oktober 1982, ini adalah Sebuah buku yang luar biasa yang merupakan kelanjutan dari kitab "pengantar ke pemikiran politik, jili 1". Hal ini dijelaskan dalam kata pengantarnya, dan dari kata pengantar itu juga kita bisa melihat kepedulian beliau kepada pemikiran politik di Indonesia. Ia menuliskan "mudah-mudahan kitab ini banyak gunanya".

Dari begitu banyak tulisan nya, beliau sangat menginspirasikan saya terutama ketika saya membaca karya biografi politik nya,"Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa 1902-1980". Dari Karya ini saya untuk pertama kalinya menyadari bung Hatta adalah seorang intelektual elit Sumatera.

Prof. Deliar Noer, Doktor politik pertama di Indonesia. Kepakaran nya di bidang politik telah diakui di Indonesia. Semangat nya selalu menginspirasi mahasiswa dan saat ini kesedihan kita karena ditinggalkan oleh beliau sungguh menjadi kehilangan yang berat. Namun begitu, karya-karya nya yang hebat tidak akan habis dimakan usia. Buku-bukunya yang saya dapatkan akan selalu menjadi sumber pelajaran bagi saya dan saya yakin teman-teman di jurusan sejarah UI juga banyak belajar dari karya beliau.

Dari Perspektif keilmuan, saya pikir Prof. Deliar layak kita sematkan gelar "pahlawan". atas jasanya yang TIDAK secara politis memberikan pelajaran ilmu politik yang sangat berguna untuk kemajuan bangsa.

selamat jalan bung,
lilin yang kau nyalakan di kegelapan akan menerangi jalan generasi berikutnya.

Senin, 02 Juni 2008

Dari obrolan singkat dengan Addie MS

Orkestra, sebuah format musik simfonik yang berisi alat musik string, perkusi, brass dan alat tiup kayu. Banyak orang di Jakarta khususnya, memandang sebelah mata format musik orkestra. Boleh dibilang, orkestra kalah “ngetop” dibandingkan dengan format band terutama band ternama yang menawarkan musik easy listening. Terlebih lagi pada masa ini, band-band indie kian menjamur dan mulai menemukan “ruang” nya. Perkembangan orkestra pada masa kini telah jauh berkembang pesat. Hal ini didukung oleh begitu banyaknya sekolah musik yang beroperasi di Jakarta dan sekitarnya. Di Jogjakarta, sekolah menengah musik telah menghasilkan banyak musisi yang handal. Begitu juga dengan Institut Seni Indonesia yang juga bertempat di Jogja, menghasilkan lulusan seniman musik yang sangat handal yang boleh dibilang, menguasai dunia musik simfonik di Indonesia. Jika kita melihat ke belakang, sekitar awal tahun 1990-an, musik dengan format orkestra hampir tidak ada di Indonesia. Lalu muncul seorang musisi yang pada saat itu aktif dalam studio rekaman, yang banyak membantu proses recording para penyanyi besar saat ini. Dialah Addie MS. Bersama dengan Indra Usmansjah Bakrie dan Oddie Agam dia membentuk sebuah pops orchestra yang saat ini terdiri dari sekitar 70 musisi. Inilah orkestra terbesar di Indonesia yang memilih format pops orchestra.

Genre musik pop dipilih tentunya untuk memenuhi selera para penikmat musik di Indonesia yang tentu memilih pop daripada klasik. Apresiasi musik klasik di Indonesia memang sangat minim. Lain dengan di Negara-negara maju atau bahkan Negara tetangga Singapura. Apresiasi yang begitu minim dapat kita lihat dari bukti nyata bahwa tidak ada satupun gedung konder yang layak untuk instrument orkestra tanpa sound system di Indonesia. Balai Sarbini memang lumayan, tetapi tanpa sound system, musikalitasnya jauh dibawah standar. Usmar Ismail Hall di kuningan cukup memberikan kepuasan bagi pendengar, namun kapasitas penonton sangat minim. Ini hal yang menyedihkan ketika kita berkaca pada Singapura yang mempunyai Esplanade Hall dengan dua gedung konder besar dan satu yang kecil untuk pertunjukan sederhana. Pemerintah Indonesia memang kurang memperlihatkan apresiasi yang baik pada musik klasik, atau bahakn pada musik simfonik dalam orkestra. Ini lah yang menyebabkan perkembangan orkestra mandek di Indonesia. Angin segar datang ketika sekolah-sekolah musik di Jakarta dan sekitarnya mulai menghasilkan musisi-musisi muda yang aktif dalam konser-konser musik. Dengan sendirinya, musik orkestra menjadi mulai berangsur menjadi “terkenal”.

Dari obrolan singkat dengan Addie MS tentang orkestra, saya kembali teringat begitu banyaknya nilai positif yang kita terima dalam sebuah latihan orkestra, dalam hal ini youth orkestra, atau orkestra remaja.

Pertama, kita bisa belajar bersosialisasi dengan sesame musisi muda. Hal yang jarang ditemui ketika teman-teman seprofesi bercengkerama tentang hal yang menyenangkan yaitu musik. Kedua, kita bisa belajar bertanggung jawab. Stand partitur yang kita siapkan sendiri sebelum latihan, kita bereskan sendiri setelah latihan, dan menyiapkan partitur sendiri dari rumah, kita datang tepat waktu. Ketiga, kita belajar bekerja sama, tenggang rasa ketika musik yang dimainkan sukar, saling belajar, dan membantu sesame. Hal- hal seperti ini saya piker tidak bisa kita beli dengan uang. Betapa ini menjadi pelajaran hidup yang sangat unik yang sangat berguna ketika kita terjun ke masyarakat.

Kita tidak mungkin membeda-bedakan jenis musik bagus atau jelek, dan tidak mungkin dibuat perbedaan bahwa muik ini lebih baik, lebih enak atau musik itu musik rendahan dan sebagainya karena musik adalah soal selera. Namun satu hal yang tentu kita harus ingat adalah bahwa musik klasik dipilih dalam youth orchestra karena dalam proses belajar, kita tidak mungkin memilih jenis musik yang berasal dari tempat lain daripada alat musik yang dimainkan dalam orkestra. Umpamanya, kita tidak mungkin mencari pelajaran tentang gamelan di Jerman, Atau pelajaran tentang musik dangdut di Spanyol. Jadi sebagai generasi muda, sebaiknya kita tidak lagi memandang sebelah mata orkestra yang secara tersirat begitu banyak memberikan pelatihan kepribadian kepada musisinya. Meskipun kita nantinya tidak memutuskan menjadi musisi professional, namun nilai-nilai postitif itu pasti akan membantu kita dalam sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.

Kemang, Minggu 1 Juni 2008

sejarah DPR

Sejarah DPR
Oleh: Eryanto Nugroho dan Reny Rawasita Parasibu
Sekilas sejarah DPR-RI dapat dilihat dalam beberapa periode penting yaitu:
A. Volksraad (1918-1942)
B. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949)
C. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
D. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)
E. DPR Hasil Pemilu 1955 (20 Maret 1956-22 Juli 1959)
F. DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)
G. DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)
H. DPR-GR Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru
I. DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971
J. DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
K. DPR Hasil Pemilu 1999 (1999-2004)
L. DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)