Selasa, 25 November 2008

Karakter-Karakter yang Mengisi Toilet*

Jakarta : Di tebing Ciliwung yang busuk dan Rusak, terkadang ada burung, terkadang kupu-kupu. Warna-warna yang tak diacuhkan…… Saya kira semuanya mungkin. Tuhan mencipta. Ia tak merancang. (Goenawan Mohamad)

Di tebing Ciliwung yang sekarang sudah menjadi salah satu tempat paling hina di kota yang paling megah ini, ternyata (menurut Goenawan Mohamad) masih bisa dijumpai sebuah kehidupan indah yang bukan lagi milik manusia. Burung dan kupu-kupu. Makhluk inilah yang mempunyai kegembiraan dan keceriaan yang menemani anak-anak manusia tidak berdosa yang terlahir dari keluarga yang tinggal di bantaran sungai itu. Ciliwung adalah sungai paling terkenal di ibukota. Orang bilang, Ciliwung membelah kota Jakarta menjadi dua. Ciliwung bukan toilet umum, Ciliwung bukan jamban, tetapi aktivitas yang seharusnya dilakukan di toilet umum dan jamban, dilakukan juga di Ciliwung. Untuk memahami “fenomena” Ciliwung itu, perlu adanya suatu pemahaman tentang karakter manusia para pengguna toilet pada umumnya. “Toilet” dan “umum”, dua kata yang jika disatukan akan membentuk ruangan yang secara imajiner bisa tercium dalam pikiran kita. “toilet umum” adalah tempat umum yang digunakan untuk urusan pembuangan. Namun persoalan nya adalah karakter pembuang kotoran itu berbeda-beda.

Untuk mempersempit ruang penelitian, dalam tulisan saya payungi pembahasan kita hanya pada toilet umum pria saja. Karakter pertama adalah orang yang cuek. Pria ini tidak terlalu peduli apakah pintu toilet terbuka atau tertutup ketika ia buang air kecil. Ia bahkan dengan seenaknya membuang ludah pada urinoir tempat dia sekaligus buang air seni di saat yang sama. Tidak hanya itu, ia bahkan tidak sempat mencuci tangan ketika merapihkan rambut di kaca toilet umum tersebut. Karakter kedua adalah pria yang cukup memperhatikan kebersihan. Ia mencuci tangan setiap kali buang air kecil, lalu mengambil kertas tissue untuk lap tangan, lalu membuang nya ke tempat sampah yang telah disediakan. Lalu karakter ketiga adalah pria yang sangat religius. Ia tidak mau buang air seni di urinoir. Alasan nya, tentu saja karena ketika menggunakan urinoir, ia kesulitan ketika mencuci alat kelamin nya. Akhirnya pria ini memilih kloset duduk atau jongkok yang terletak di dalam ruang kecil.Mungkin ini hanyalah klasifikasi kasar yang tidak fundamental, namun begitu rasanya cukup beralasan jika toilet disebut sebagai suatu yang useful and universal. Semua karakter menggunakan toilet untuk sesuatu yang sama. Tidak peduli Ras, agama, ataupun usia dan status sosial, semua menjadi satu di dalam Toilet umum. Semuanya itu terkonsentrasi ke dalam satu saluran yang universal. Universalitas ini harus dibanggakan, mengingat manusia yang beraneka ragam itu ternyata (dengan tidak disadari langsung oleh mereka sendiri) telah bersatu di dalam satu saluran pembuangan melalui satu pintu, toilet umum. Mungkin tidak ada persatuan dalam partai, Negara, ataupun organisasi di luar toilet umum yang sebagus dan se solid persatuan kotoran mereka di dalam toilet umum. Dalam sebuah toilet umum, sering terdapat kaca yang digunakan untuk berias. Kaca digunakan juga untuk konotasi berefleksi diri, herhalen, mengulang lagi dan mengingat kembali apa yang telah kita capai atau kita lakukan dalam hidup. Ini merupakan salah satu aspek yang tak terselampai, didapat dalam kekosongan ketika manusia sedang dalam kesepian dan mungkin kesendirian.

Renungan toilet, adalah sesuatu yang sangat privasi. Tapi dalam toilet umum ternyata ada penghuni tetap yang selalu ada di tempatnya. Ini karakter keempat yang merupakan pria yang sangat berdedikasi pada pekerjaan. Dia sangat menjaga kebersihan, menyiapkan segala keperluan seperti tissue dan kelengkapan cuci lain. Dialah penjaga toilet umum. Dalam kesendirian dan permenungan dia bisa memperoleh penghasilan yang meskipun sangat kecil namun bisa menyokong ongkos hidupnya, menyambung hari demi hari. Suatu karakter dalam toilet seperti ini seakan menandai kejamnya Jakarta dan kejamnya penduduk Jakarta yang notabene telah secara langsung dan tidak langsung juga telah merusak Ciliwung. Namun begitu, karakter seperti penjaga toilet justru menunjukkan juga sisi positif adanya kemauan untuk bekerja. Tidak hanya meminta namun ada kemauan bekerja. Seseorang di pinggir pantai dalam kondisi normal ibaratnya seharusnya lebih senang diberi kail dan jala daripada hanya diberi ikan.

Terlalu banyak hal yang mendukung operasi toilet umum. Ternyata tidak hanya di Ciliwung saja ada kehidupan damai burung dan kupu-kupu tapi juga di toilet umum. Kotoran yang dipersatukan dalam satu saluran itu menunjukkan sekali lagi bahwa manusia dalam ketelanjangan dan kesendirian sebagai individu itu tidaklah bisa dibeda-bedakan. Semua manusia itu setara dan sederajat. Yang membedakan mungkin jabatan nya, usianya, jenis kelamin nya, status sosialnya, ras nya, atau agamanya tetapi di dalam satu ruangan permenungan, satu ruangan yang tidak tak tersentuh itu, ruangan suci yang tidak bisa menutupi kebohongan itu, semua manusia dianggap sama. Dipersatukan kotoran nya, dan tidak ada lagi klasifikasi sosial. Lalu selalu ada satu sudut dalam pikiran kita tentang suatu objek yang dipikirkan. Sebuah komparatif naratif yang akan selalu mengganggu pikiran apalagi ketika menyentuh hasrat intelektualitas kita. Pikiran kita akan bertanya, apakah kita yang seharusnya merawat dan mencintai toilet di kampus kita ini tega merusak, mengotori atau dengan seronok merokok di dalam ruang toilet yang useful dan universal itu? Jika tega, apakah kita tega juga terhadap burung dan kupu-kupu yang seharusnya hidup damai di toilet seperti di Ciliwung? Kita sering lupa saudaraku, bahwa tanpa ruang-ruang toilet itu kita akan selalu kerepotan.

*tulisan untuk buletin sejarah FIB UI Depok.

Tidak ada komentar: