Kamis, 09 Oktober 2008

Jamban : Satu elemen mempersatukan dunia

Jamban, toilet, kloset, WC (watercloset) adalah beberapa istilah yang mengacu pada alat pembuangan, atau ruangan tempat diposisikannya alat pembuangan yang fungsi utamanya untuk membuang kotoran manusia, air seni dan feses. Mendengar istilah “Kloset”, saya terbayangkan dua jenis kloset. Yang pertama adalah kloset duduk dan yang kedua adalah kloset jongkok. Kloset duduk mempunyai fasilitas penyiraman setelah digunakan dan ternyata pada hari ini, kloset duduk adalah yang paling umum di Eropa. Sedangkan kloset jongkok popular di Asia tenggara, RRC, Jepang, India, serta beberapa Negara Eropa selatan dan Negara-negara Balkan.
Secara sosial, kita juga bisa melihat adanya pengklasifikasian antara dua jenis toilet yaitu toilet umum dan toilet rumahan. Dalam suatu kamus bahasa Indonesia, saya menemukan definisi “toilet” adalah alat-alat berhias. Dalam kamus bahasa Inggris, “toilet-set” diartikan sebagai alat-alat lengkap untuk berdandan termasuktempat sisir dan tempat handuk. Saya membaca sebuah pengkerdilan makna dalam istilah “toilet” dalam bahasa percakapan kita. Namun begitu, kita boleh-boleh saja terus memaknai toilet dengan arti yang sudah umum berlaku di masyarakat.
Jika kita melakukan sebuah perjalanan ke beberapa toilet umum, bisa ditemukan jejak-jejak sentuhan tangan Belanda dalam pembangunan di Batavia. Di beberapa stasiun di Jakarta misalnya, dalam ruangan yang bertuliskan “toilet” kita akan mendapati posisi kloset yang khusus untuk buang air seni (urinoir) letaknya tidak sesuai dengan karakter umum fisik orang Indonesia melainkan terlalu menyesuaikan dengan karakter Eropa yang umumnya lebih tinggi. Ini hanya contoh sederhana, meskipun tentu saja dalam arus sejarah, kloset terus mengalami perkembangan.
Parit-parit di Mohenjodaro dan kloset peradaban Romawi kuno dianggap sebagai model kloset pertama di dunia. Ada suatu sumber yang menceritakan suatu kejadian di London sekitar tahun 1730, karena padatnya jumlah penduduk ketika itu, warga harus mulai tinggal di rumah-rumah susun kecil. Ketika mereka buang air, mereka melakukan nya di suatu tempat yang mungkin pada masa sekarang kita kenal dengan istilah “pispot”. Dari pispot itu, kotoran dikumpulkan dan dibuang ke selokan. Namun begitu, mereka sering kerepotan bolak-balik naik turun sehingga kotoran itu dibuang begitu saja dari jendela. Efek jangka pendeknya tentu saja kenyamanan yang terganggu. Lalu bisa ditebak, lingkungan menjadi kotor dan penyakit merajalela. Sampai pada tahun 1731 ketika pemerintah London mengeluarkan undang-undang pelarangan membuang kotoran ke jalan, dan barangsiapa melakukan nya, akan dikenai hukuman denda. Ternyata undang-undang itu tidak mampu mengubah kebiasaan mereka. Inovasi terus dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Sejarah mencatat suatu fenomena besar yang cukup sukses adalah inovasi yang dilakukan oleh Alexander Cummings pada 1775 yang menemukan kloset bilas tak berbau yang disebut Valve Closet. Rahasianya adalah dengan menggunakan saluran pembuangan leher angsa atau mirip huruf S. Bentuk ini membuat air menggenang di leher angsa tersebut,dan menghalangi keluarnya bau kotoran.
Dalam kehidupan di lingkungan kumuh di pinggiran Jakarta sekarang, hal yang serupa tapi tak sama terjadi seperti di London tahun 1730an itu. Lingkungan semakin kotor dan penyakit siap menyerang. Celakanya pemerintah bagaikan kehabisan akal dan menyerah apalagi dengan bertambahnya jumlah penduduk terkait dengan urbanisasi tahunan. Kalaupun ada jamban (istilah “jamban” saya gunakan karena ini popular di lingkungan masyarakat kumuh), jamban itu adalah jamban umum yang digunakan oleh sekian banyak orang di lingkungan yang sama. Bagaikan satu dosen yang melayani nafsu intelektual ribuan mahasiswa dalam perkuliahan. Tentu saja hal seperti itu tidak efektif, tidak dapat melayani dengan maksimal.
Kloset, adalah elemen penting yang menyangkut hidup setiap manusia di dunia. Kalau kita baca di tembok dalam salah satu toilet jongkok pria di gedung IX FIB UI Depok, entah siapa penulisnya tapi saya pikir logikanya benar, bahwa setiap manusia meskipun ia tercantik dan tertampan di dunia ini tidak akan pernah dapat menghindari perasaan mulas, atau setidaknya ingin buang air besar maupun kecil. Inilah yang membuat kloset mampu menyatukan dunia. Lalu apabila elemen sederhana seperti toilet ternyata dapat bermanfaat dan menolong kita di saat sakit perut, mengapa perpustakaan FIB yang luar biasa itu tidak kita manfaatkan sebagai tempat yang menolong kita dari kebutaan ilmu dan intelektualitas? Sehingga kita tidak hanya membuat kebisingan dengan mengobrol, pacaran, bercanda atau telponan namun mencoba duduk tenang seperti di kloset duduk, sambil membaca buku.

Tidak ada komentar: