Kamis, 09 Oktober 2008

Separatisme Berkedok Budaya di Indonesia

Separatisme pada umumnya diartikan oleh masyarakat kita sebagai bentuk paham yang memecah belah atau memisahkan kelompok tertentu dari kesatuannya. Namun demikian, yang terjadi tampaknya separatisme terwujud tanpa disadari oleh masyarakat. Seringkali berbagai hal yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dalam arti luas terjadi atas alasan tertentu, misalnya konflik etnis, sosial, politik, agama dan tentu saja semua itu terkait dengan budaya bangsa ini. Lalu timbul pertanyaan dalam pikiran saya, apakah benar separatisme telah menjadi budaya bangsa kita?

Separatisme sudah tentu menjadi momok bagi perjalanan bangsa kita dalam menghadapi tantangan globalisasi. Sulit dibayangkan ketika begitu hebatnya “serbuan” intervensi asing masuk ke Indonesia, kita justru sedang sibuk mengatasi masalah dan konflik-konflik intern yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Kita harus mulai mencari penyelesaian yang efektif sehingga tidak perlu berlarut-larut “melawan” rakyat sendiri yang seharusnya bekerjasama menghadapi masa depan. Sangat disesali, selama ini bangsa kita tampaknya tidak dibekali dengan moral dan karakter yang baik. Dalam hal ini, banyak sekali contoh yang bisa kita lihat dan buktikan sendiri.

Dewasa ini kita dipaksa untuk semakin menyadari bahwa selain bangsa ini terpuruk dalam bidang ekonomi, sosial, dan bahkan teknologi, kita juga telah gagal dalam hal pembangunan moral dan karakter manusia Indonesia. Saya pikir ini menjadi salah satu akar dari masalah separatisme yang berkedok budaya di Indonesia. Ditambah lagi kelangkaan figur seorang negarawan sejati di Indonesia amat kita sesali mengingat betapa pentingnya kepemimpinan yang baik dalam menghadapi tantangan global di masa yang akan datang. Dalam arti sempit, kita kesulitan mencari orang yang sungguh-sungguh kompeten dalam menjalankan pemerintahan.

Ironis memang, bahwa pemerintah kita sekarang justru sibuk dengan penanganan bencana alam, kasus Lapindo yang sudah semakin berlarut-larut, pemilihan calon presiden tahun 2009 dan beragam hal lainnya yang memecahkan konsentrasi pembangunan bangsa. Menjadi sangat menyedihkan karena hal ini membawa masyarakat ke jurang kemiskinan yang lebih dalam dan membuat rakyat kecil semakin terperosok. Tidak mengherankan jika kasus-kasus separatisme sangat mudah terjadi di Negara yang sedang dalam kondisi seperti ini.

Sementara itu, tampaknya kita masih sangat sulit menghapus “mental jajahan” yang masih ada dalam diri kita. Kita masih bertindak layaknya seperti manusia-manusia yang dijajah oleh bangsa lain. Kita masih selalu menurut pada penguasa, kita masih terlalu mudah setuju dengan kebijakan pemilik modal yang mementingkan dirinya sendiri dan selalu hormat pada orang-orang yang kuat secara materi. Harus diakui, banyak dari kita orang muda negeri ini yang memandang materi sebagai pusat penghormatan. Kita dijajah oleh pemodal asing. “Mental jajahan” ini memang sulit sekali diperbaiki karena bangsa ini terlalu lama dijajah oleh bangsa asing. Mental seperti ini tentu sangat mempengaruhi perilaku kita. Kita dengan mudah terpengaruh oleh godaan-godaan semu yang menggiurkan yang kita dapatkan dari tindakan separatis. Inilah bahayanya, penjajahan di Indonesia sekarang serupa tapi tak sama dengan masa kolonial.

Menengok sejarah Indonesia, separatisme selalu identik dengan kekerasan dan konflik sosial. Pada umumnya, konflik-konflik antar agama misalnya ataupun yang mengatas namakan agama di Indonesia selalu berujung pada keinginan merdeka atau melepaskan diri dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Belanda memanfaatkan situasi bangsa kita. Banyak sekali bukti dalam sejarah yang menyatakan bahwa perselisihan antar kerajaan di nusantara justru diakhiri dengan Belanda sebagai ”pemenang”. Dalam perselisihan agama, GusDur, mantan presiden ke-4 Indonesia berpendapat bahwa masalah pokok dalam hubungan antar umat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain,bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain. Ternyata kemudian, saya masih belum mendapatkan jawaban, apakah separatisme telah menjadi budaya di bangsa kita?

Tidak ada komentar: